--> February 2017 | KUMPULAN MAKALAH

Berbagi Tugas Sekolah Makalah dan Referensi

Saturday, February 25, 2017

no image

MAKALAH TENTANG : BUDIDAYA UDANG WINDU BERWAWASAN LINGKUNGAN

                                                                KATA PENGANTAR  

         Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya, sehingga penulisan makalah kelompok ini dapat diselesaikan dengan baik.  Makalah ini merupakan salah satu tugas dalam mata kuliah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702).  
        Dalam makalah ini dikaji keterkaitan antara udang windu sebagai biota, lingkungan sebagai media hidupnya, serta berbagai input lainnya terutama pakan.  Judul yang diambil adalah: BUDIDAYA UDANG WINDU (Penaeus monodon Fab.) BERWAWASAN LINGKUNGAN.  Pertimbangan berdasarkan unsur-unsur filsafat uraian berikut adalah:
         Tinjauan ontologis mencakup intensifikasi sistem budidaya udang windu (Penaeus monodon Fab.) di tambak yang dimulai sejak tiga dekade yang lalu, yang dari segi kausalitas adalah sangat menurunnya produksi udang windu yang terjadi pada satu dekade terakhir sebagai konsekuensi dari manajemen lingkungan, biota dan pakan yang kurang memperhatikan daya dukung lahan. Secara epistomologis, ditinjau penurunan kualitas air yang berlanjut dengan munculnya berbagai agen pembawa penyakit. Teleologi bahasan adalah untuk mengungkapkan suatu alternatif sistem budidaya udang windu yang berwawasan lingkungan dengan aksiologi produksi optimum, ekonomis, beresiko rendah dan lingkungan yang lestari.
        Dengan demikian, aspek penting yang dibahas  mencakup berbagai permasalahan yang sedang dihadapi dalam budidaya udang di tambak saat ini serta alternatif solusinya guna menjawab berbagai tantangan yang akan dihadapi pada aktivitas akuakultur di masa mendatang.
                                                                                                                                                                                                        Penulis. 

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
I.  PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang
1.2.    Tujuan dan Ruang Lingkup
1.3.    Manfaat
II.  KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.  Deskripsi Teoritis
2.1.1.      Sistem Budidaya
2.1.2.      Biologi
2.1.3.      Lingkungan
2.1.4.      Pakan dan Kemungkinan Dampak yang Ditimbulkan
2.2.  Pendekatan Masalah
III.  APLIKASI TEKNOLOGI
3.1.  Manajemen Biota
3.1.1.      Udang
3.1.2.      Penyakit
3.2.          Manajemen Lingkungan
3.3.          Manajemen Pakan
3.3.1.      Kontrol Sistem Akuakultur
3.3.2.      Strategi Pemberian Pakan
IV.  KESIMPULAN
KEPUSTAKAAN
  _____________________________________
                                                                I.  PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
         Udang windu merupakan komoditas budidaya perairan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.  Melalui gema PROTEKAN (Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan) 2003, ditargetkan pendapatan US$ 10,19 milyar dari perikanan, dan dari budidaya udang diharapkan mampu menyumbang devisa sebesar US$ 6,79 milyar (Basoeki, 2000), yaitu  sejumlah lebih dari 60.000 ton udang (Harris, 2000).
       Secara umum, budidaya udang di Indonesia telah dilakukan sejak lama.  Namun budidaya udang secara intensif baru berkembang pesat pada pertengahan tahun 1986, dimulai di Pulau Jawa, selanjutnya berkembang, antara lain di Bali, Sumatera Utara, Aceh, Lampung, Bengkulu, Bangka, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Lombok, Sumbawa, dan Irian Jaya (Poernomo, 1988). 
       Indonesia tercatat sebagai negara penghasil udang terbesar ketiga di dunia.  Namun produksinya terus menurun, dari 100.000 ton (1994), 80.000 ton (1996), dan 50.000 (1998).  Sejak tahun 1996 beberapa negara lain juga  mengalami penurunan produksi udang, tetapi berangsur-angsur membaik, bahkan Thailand mampu menjadi negara penghasil udang budidaya nomor satu di dunia. 
       Dalam budidaya perairan (akuakultur), khususnya udang windu, produksi merupakan fungsi dari biota, lingkungan dan pakan.  Keberhasilan budidaya udang ditentukan oleh biota yang mempunyai toleransi besar terhadap perubahan atau fluktuasi lingkungan, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, serta responsif terhadap pakan yang diberikan.  Keberhasilan suatu budidaya merupakan derajat kelangsungan hidup dan bobot rata-rata individu yang tinggi sehingga diperoleh produksi yang maksimal.
        Ekosistem tambak merupakan lingkungan alami yang tidak mungkin dapat menyediakan lingkungan hidup yang optimal bagi udang yang dibudidayakan.  Untuk itu, pengelolaan lingkungan sangat diperlukan untuk menyediakan tempat hidup yang layak dan nyaman agar udang dapat menyelenggarakan proses-proses kehidupannya dengan baik.  Jika lingkungan sudah terkondisi dengan baik, maka faktor pakan selanjutnya akan menentukan pertumbuhan.  Ketersediaan pakan yang baik sangat diperlukan bagi pertumbuhan, yaitu penambahan bobot, panjang atau volume udang akibat adanya energi yang disisakan dari energi pakan setelah dikurangi dengan energi metabolisme total serta energi yang dikeluarkan berupa feses dan urin.  Produksi akan optimal bila kendala oleh penyakit dan hama dapat diatasi dengan baik. 
       Ketiga faktor penentu produksi berinteraksi sesamanya.  Sebagai contoh, penerapan teknologi budidaya udang secara intensif memerlukan pemberian pakan yang intensif pula.  Hal ini berkonsekuensi terhadap penumpukan sisa pakan dan ekskresi udang, serta senyawa lainnya di dasar tambak yang dapat menjadi penyebab utama penurunan kualitas lingkungan yang selanjutnya akan menurunkan produktivitas tambak.  Penurunan kualitas lingkungan dapat diakibatkan oleh ketidak-efisienan pakan dan pemberian pakan, ekskresi udang, serta sisa pengobatan. Agar terjadi efisiensi pakan yang tinggi, maka pakan udang yang diberikan harus berpeluang tinggi untuk dimakan.  Kondisi ini tercapai apabila kondisi lingkungan optimal bagi udang.  Karena keeratan hubungan tersebut, maka perlu diusahakan cara budidaya udang dengan memperhatikan kondisi fisiologis udang, lingkungan tempat hidupnya, serta pakan yang tidak mencemari lingkungan.  
1.2.  Tujuan dan Ruang Lingkup
        Kajian ini dimaksudkan untuk mencari alternatif sistem budidaya udang windu yang dapat memberikan produksi tinggi dengan tingkat pencemaran lingkungan yang minimal.
Ruang lingkup kajian meliputi pengenalan biota udang dan manajemen budidaya udang, serta teknologi alternatif yang dapat diterapkan dalam pengembangan budidaya udang guna memperoleh produksi maksimal dengan meminimumkan waste product ke dalam lingkungan sekitarnya (berwawasan lingkungan).

1.3.  Manfaat
            Manfaat kajian ini antara lain adalah diperolehnya suatu alternatif sistem budidaya udang yang menghasilkan produktifvitas tinggi dengan limbah buangan seminimal mungkin.  Hal ini dapat dicapai bila ada keseimbangan antara komponen-komponen ekosistem tambak sehingga menghasilkan kondisi lingkungan yang optimal bagi kehidupan udang sehingga pemanfaatan pakan oleh udang menjadi efisien.

II.  KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.  Deskripsi Teoritis
2.1.1.      Sistem Budidaya
          Pada dekade tahun 1980, budidaya udang secara intensif  berkembang sangat pesat.  Pembukaan tambak baru dengan hamparan yang cukup luas, seringkali kurang memperhatikan keberadaan jalur hijau, akibatnya populasi pohon bakau sangat menurun, bahkan di beberapa tempat dibabat habis.  Pada sisi lain para pengusaha seakan berusaha memacu produksi dengan meningkatkan padat tebar udang.  Dengan padat tebar yang tinggi, diikuti dengan pemberian pakan yang  lebih banyak per satuan luas tambak akan menambah berat beban lingkungan.  Hal ini diperburuk dengan sistem pembuangan air sisa pemeliharaan yang kurang baik, akibatnya dari waktu ke waktu terjadi akumulasi bahan organik sisa pakan dan kotoran udang dalam tambak dan lingkungan estuaria.
         Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1990 tanda-tanda pengaruh memburuknya lingkungan mulai terlihat,  pertumbuhan udang mulai lambat dan seringkali terserang penyakit.  Budidaya udang intensif mulai menghadapi masalah setelah terjadi wabah virus MBV yang mematikan udang dan munculnya senyawa metabolik toksik (amonia, nitrit, dan H2S).  Serangan MBV ini terparah terjadi di pantai utara P. Jawa, dan pada saat itu hampir seluruh kegiatan budidaya udang intensif dihentikan.
Selama ini air buangan tambak intensif dengan kandungan bahan organik yang sangat tinggi dibuang ke lingkungan melalui saluran tambak, dengan harapan dapat terbawa arus ke laut lepas.  Kenyataannya air buangan ini terdorong oleh arus dan pasang air laut dan masuk kembali ke saluran-saluran tambak.  Hal ini akan menyebabkan penumpukan bahan organik di wilayah pertambakan.  Pencemaran bahan organik di tambak merangsang timbulnya penyakit udang.  Kondisi ini telah terjadi pada tambak intensif dengan desain konvensional (Gambar 1).
  
          Sebagai gambaran, perbedaan karakteristik (baik input, proses maupun output) yang umum dari sistem budidaya udang seacara ekstensif, semi-intensif, intensif maupun ultra-intensif dirangkum pada Tabel 1 (Fast, 1992).  Kategori yang terakhir (yaitu sistem ultra-intensif) merupakan bentuk evolusi dari sistem yang telah ada sebelumnya dan jarang diaplikasikan untuk kepentingan komersial, meskipun awalnya dikembangkan oleh petani dan perusahaan swasta.  Sistem tersebut lebih merupakan ‘science’ dan ‘art’ dari aktifitas budidaya.  Perbedaan kategori dari ke empat sistem budidaya tersebut terutama terkait dengan kompleksitas, resiko, manajemen, dan hasil panen. 

Tabel 1.  Karakteristik Sistem Budidaya Udang (dimodifikasi dari Fast, 1992)
Karakteristik     Tipe Produksi
    Ekstensif     Semi-Intensif     Intensif     Ultra-Intensif
Produksi
(MT/ha/th.)     <0.1 – 0.3     0.5 – 2.5     5 – 15     30 - 150
Tk. Tebar
(#/m2/tanam)     0.1 – 1.0     3 – 10     15 - 40     >100
Sumber Benih     Alam     Alam & Hatchery
(? Nursery)     Hatchery
(Nursery)     Hatchery
(Nursery)
Daya Dukung
(gr/m2)     <25     25 – 150     250 – 1000     1500 - 4500
Pakan     Alami
(Tanpa tambahan)     Alami + Tambahan
(Tidak lengkap)     Pakan Buatan
(Lengkap/hampir
lengkap)     Pakan Buatan
(Lengkap
Konversi Pkn.
(kg pkn/kg ud.)     0     <1.0 – 1.5     1.5 – 2.0     >2.0
Tk. Ganti air
(%/hari)     <5     <5 – 20     10 – 20     >100
Pompa     Pasut & pompa     Pompa     Pompa     Pompa
Aerasi &
aerator     Ganti air
secara alami     Ganti air     Aerator dan
Injeksi O2     Aerator dan
Ganti air
Ukur. Kolam
(ha)     >5     1 – 2     0.25 – 2     <0.25
Bentuk Kolam     Tidak teratur     Lebih teratur     Seragam (Bj. Skr. atau segi empat)     Seragam (Tangki/beton)
Survival Rate
(%)     <60     60 – 80     80 – 90     80 - 90
Tanam/tahun     1 – 2     2 – 3     2.5 – 3     >3
Masalah
Penyakit     Minimal     Biasanya tidak jadi masalah     Dapat serius     Sangat serius
Poten. untung
(per kg ud.)     Moderat     Tinggi     Rendah     Sangat rendah
Poten. untung
(ha)     Sangat rendah     Moderat     Tinggi     Sangat tinggi
 
2.1.2.      Biologi
          Pola hidup yang merupakan sifat dasar dari udang adalah bersifat bentik dan nokturnal.  Sifat bentik dimulai sejak udang bermetamorfosis menjadi PL (Bailey-Brock dan Moss, 1992).  Sifat demikian akan menjadi faktor pembatas manakala di dasar tambak terdapat cemaran timbunan bahan organik (terutama yang berasal dari sisa pakan maupun feses) ataupun pada saat kekurangan oksigen.  Oleh karena itu, sifat bentik dapat menjadi dasar pertimbangan manajemen lingkungan tambak.  Sifat nokturnal, yaitu aktif pada malam hari, dapat digunakan sebagai dasar untuk manajemen pakan yang berarti bahwa prosentase pakan yang lebih banyak harus diberikan pada malam hari; atau implikasinya adalah dengan memperdalam kolom air (yaitu >1m) (Primavera, 1994). 
a.  Induk
          Udang windu tersebar secara luas di perairan Indonesia, dan kelimpahannya di setiap daerah dipengaruhi oleh musim.  Luasnya penyebaran dan tidak terjadinya aliran gen (‘gene flow’) antar lokasi menghasilkan keragaman genetik yang berbeda (Primavera, 1994).  Hasil penelitian menunjukkan bahwa induk udang yang berasal dari perairan Aceh mempunyai keragaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain.  Meskipun udang dewasa yang tertangkap dapat dijadikan sebagai induk, namun induk yang diperoleh dari hasil budidaya sudah mempunyai gen adaptif terhadap lingkungan (Gjedrem, 1983).  Waktu pencapaian matang telur untuk induk alam adalah 4-6 minggu sedangkan untuk induk hasil budidaya selama 8-12 minggu, meskipun sudah dengan perlakuan ablasi (Primavera, 1994).  Produksi nauplii mencapai kurang lebih 250.000 ekor/induk. 
        Keragaan genetika dan jumlah induk (‘effective breeding number’) menentukan mutu benur dan keberhasilan budidaya karena terkait dengan tercerminnya gen lokal (‘gene coadaptive complex’) (Lester dan Pante, 1992).  Karena itu, dalam pemilihan induk perlu diperhatikan tiga hal pokok guna mendapatkan benih bermutu, yaitu: 1) keragaan genetik yang tinggi, 2) tipe ekosistem dari asal induk dengan daerah budidaya, dan 3) jumlah induk yang digunakan, terutama bila induk berasal dari hasil budidaya. 
 b.  Penyakit 
       Berbagai penyakit oleh bakteri dan virus merupakan penyebab utama kematian udang yang dibudidayakan. Jenis bakteri penyebab penyakit udang di tambak adalah Vibrio alginolyticus, sedangkan penyakit Infectious Hematopoeitic Hypodermal necrosis (IHHN), Hepatopancreatic Parvo like Virus (HPV), Baculovirus Midgut Gland Necrosis Virus (BMNV), Monodon Baculovirus (MBV), Type C Baculovirus (TCBV), Yellow Head Baculovirus (YHBV), serta Systemic Ectodermal  dan Mesodermal Baculovirus (SEMBV) disebabkan oleh virus.  Untuk penyakit yang disebabkan virus belum ada obatnya sampai sekarang dan kerugiannya secara ekonomi sangat besar.  Kerugian karena penyakit diperkirakan mencapai lebih dari 300 juta US$ per tahun (Wahyono, 1999 dalam Rukyani, 2000).
 2.1.3.      Lingkungan
          Lingkungan yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan udang adalah yang mampu menyediakan kondisi fisika, kimia, dan biologi yang optimal.  Kondisi lingkungan fisik yang dimaksud antara lain suhu dan salinitas.  Kondisi lingkungan kimia antara lain meliputi pH, oksigen terlarut (DO), nitrat, ortofosfat, serta keberadaan plankton  sebagai pakan alami.  Selain itu perlu diperhatikan timbulnya kondisi lingkungan yang dapat menghambat pertumbuhan udang, bahkan dapat mematikan udang, misalnya munculnya gas-gas beracun serta mikroorganisme patogen. 
         Suhu merupakan salah satu faktor pengendali kecepatan reaksi biokimia karena dapat menentukan laju metabolisme melalui perubahan aktivitas molekul yang terkait (Fry dalam Brett, 1979; Johnson et al., 1974 dalam Hoar, 1984).  Pada banyak kasus, keberhasilan budidaya udang terjadi pada kisaran suhu perairan 20-30˚C (Liao dan Murai, 1986).
          Teknik yang diterapkan oleh petani Taiwan untuk merangsang molting dan meningkatkan pertumbuhan udang adalah dengan merubah salinitas secara rutin antara 15-20‰ (Chien et al., 1989 dalam Chien, 1992).  Secara umum, udang windu tumbuh baik pada salinitas 10-25‰ (Anonimus, 1978) dan 15-35‰ (Chen, 1976).  Boyd (1990) menegaskan bahwa salinitas yang ideal untuk pembesaran udang windu berada pada kisaran 15-25‰.
         Pengaruh pH yang berbahaya bagi udang umumnya melalui mekanisme peningkatan daya racun atau konsentrasi zat racun, misalnya peningkatan ammonia anionik (NH3) pada pH di atas 7 (Colt dan Armstrong, 1981 dalam Chien, 1992).  Pada perairan dengan pH rendah akan terjadi peningkatan fraksi sulfida anionik (H2S) dan daya racun nitrit, serta gangguan fisiologis udang sehingga udang stress, pelunakan kulit (karapas), juga penurunan derajat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan (Chien, 1992).  Dalam jangka waktu lama, kondisi pH rendah akan mengakibatkan hilangnya natrium tubuh (plasma) ke dalam perairan (Heath, 1987).  Untuk kondisi pH perairan tambak selama pemeliharaan harus dipertahankan pada kisaran 7,5-8,5 (Law, 1988 dan Chien, 1992) serta pH minimum pada akhir pemeliharaan sebesar 7,3 (Chen dan Wang, 1992).
          Kandungan DO dalam perairan tambak sangat berpengaruh terhadap fisiologi udang.  Dalam perairan berkadar oksigen 1,0 mg/l udang akan berhenti makan, tidak menunjukkan perbedaan laju konsumsi pakan pada konsentrasi 1,5 mg/l, tidak tumbuh pada 1,0-1,4 mg/l, memiliki pertumbuhan terbatas di bawah 5 mg/l dan normal pada konsentrasi di atas 5 mg/l.  Dengan demikian DO harus dipertahankan di atas 2,0 mg/l (Yang, 1990 dan Law, 1988).
         Nitrat dan ortofosfat merupakan nutrien yang diperlukan dalam pertumbuhan fitoplankton.  Kedua jenis nutrien tersebut dapat langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton (Goldman dan Horne, 1983).
Secara umum , fitoplankton yang biasa dijumpai di tambak adalah dari kelompok Bacillariophyceae (diatom), Chlorophyceae, Cyanophyceae, Euglenophyceae, dan Dinophyceae; dua kelompok pertama merupakan fitoplankton yang diharapkan kehadirannya atau sangat bermanfaat bagi pertumbuhan udang (Poernomo, 1988). Komposisi dan kelimpahan plankton dapat menjadi indikator bagi kesehatan lingkungan perairan.  Keberadaan fitoplankton berkait erat dengan nutrien yang tersedia, terutama N, P, dan K, serta Si untuk kelompok diatom.  Rasio N:P yang tepat akan memunculkan  pertumbuhan fitoplankton yang tepat pula, sehingga akan terjadi stabilitas ekosistem tambak melalui berbagai mekanisme (Chien, 1992).  Apabila rasio nutrien tersebut tidak tepat, maka muncul fitoplankton dari kelompok yang tidak diharapkan sehingga dapat mengganggu stabilitas lingkungan, bahkan mematikan udang (Poernomo, 1988).
2.1.4.  Pakan dan Kemungkinan Dampak yang Ditimbulkan
 a.  Pakan
        Pada prinsipnya komponen pakan dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok besar, yaitu: 1) komponen makro, 2) komponen mikro, dan 3) komponen suplemen atau ‘food additives’.  Protein, karbohidrat, dan lemak termasuk dalam komponen makro; sedangkan yang termasuk dalam komponen mikro adalah vitamin, mineral dan zat pengikat (‘binder’).  Berbagai senyawa yang seiring dimasukkan ke dalam komponen food additives meliputi senyawa antioksidan, antibiotik, atraktan, pewarna, enzim dan vitamin atau mineral tunggal yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam pakan untuk tujuan-tujuan tertentu. 
Infrormasi dan pembahasan yang disampaikan dalam makalah ini akan ditekankan pada komponen makro, yang juga merupakan bagian terbesar dari pakan. 
 a.1.  Protein
         Nama protein berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu yang berkonotasi dengan ‘primary holding first place’ dan berarti menduduki tempat yang paling utama.  Protein terdiri dari satuan dasarnya yang disebut asam amino (Clara dan Suhardjo, 1988).  Asam amino terdiri dari tiga golongan yaitu: 1) asam amino esensial, seperti isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan, valin; 2) asam amino semi-esensial, seperti arginin, histidin, tirosin, sistein, glisin dan serin; 3) asam amino non-esensial, seperti glutamat, hidroksiglutamat, aspartat, alanin, prolin, hidroksiprolin, sitrulin dan hidroksiglisin.  Protein mempunyai beberapa fungsi pokok seperti: 1) untuk pertumbuhan dan memelihara jaringan tubuh, 2) sebagai pengatur tubuh dan 3) sebagai bahan bakar di dalam tubuh. 
 a.2.  Karbohidrat
     Karbohidat merupakan nama kelompok senyawa organik yang mempunyai struktur molekul berbeda-beda meskipun masih terdapat persamaan dari sudut fungsinya (Sediaoetomo, 1991).  Karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu: 1) monosakarida, 2) disakarida, dan 3) polisakarida.  Monosakarida merupakan gula sederhana, seperti glukosa, fruktosa dan galaktosa.  Disakarida terdapat dalam laktosa, maltosa dan sukrosa.  Contoh penting dari polisakarida adalah dekstrin, pati, selulosa dan glikogen.  Fungsi utama dari karbohidrat adalah sebagai sumber energi, menghemat penggunaan protein dan lemak.  Jika karbohidrat berlebih maka akan disimpan dalam bentuk glikogen. 
         Terdapat masing-masing 4 enzim kunci yang terlibat baik pada degradasi glikogen menjadi glukosa bebas (glikogenolisis) maupun pada glukoneogenesis.  Enzim kunci pada glikogenolisis adalah: (a) phosphorilase, (b) ‘debranching enzyme’, 1,6 glucosidase, (c) phosphoglucomutase, dan (d) glucose-6-phosphatase; sedangkan pada glukoneogeneis melibatkan enzim-enzim: (a) pyruvate carboxylase, (b) PEP-carboxykinase, (c) fructose diphosphatase, dan (d) glucose-6-phosphatase (Campbell dan Smith, 1982). 
 a.3.  Lemak
          Lipid adalah suatu kelompok senyawa heterogen yang berhubungan dengan asam lemak, baik secara aktual maupun potensial.  Lipid diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu: 1) lipid sederhana yang terdiri dari lemak ester asam lemak dengan gliserol, dan lilin ester asam lemak dengan alkohol monohidrat yang lebih tinggi dari pada gliserol; 2) lipid campuran yang terdiri dari fosfolipid dan serebroside; dan 3) derifed lipid yang meliputi asam lemak (jenuh dan tidak jenuh), gliserol, steroid, alkohol. 
         Fungsi lipid adalah: 1) menghasilkan energi yang dibutuhkan tubuh; 2) pembentuk struktur tubuh; dan 3) pengatur proses yang berlangsung dalam tubuh secara langsung maupun tidak langsung.  Hati merupakan tempat utama dari metabolisme lemak dan sangat bertanggung-jawab terhadap pengaturan kadar lemak dalam tubuh.  Beberapa fungsi hati yang terkait dengan metabolisme lemak yaitu: 1) oksidasi asam lemak, 2) sintesis trigliserida dari karbohidrat, 3) degradasi trigliserida, dan 4) sintesis kolesterol dan fosfolipid dari trigliserida. 

b.  Kemungkinan Dampak yang Ditimbulkan
          Udang mempunyai kemampuan yang jauh lebih rendah dalam memanfaatkan glukosa (Deshimaru dan Shigeno, 1972; Shiau, 1998) bila dibandingkan dengan ikan (Brauge, et al., 1994; Banos et al., 1998).  Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan maksimum untuk udang dapat dicapai pada pemberian pakan mengandung karbohidrat 1% dengan kandungan protein tinggi, yaitu hingga 50% (Campbell, 1991 dalam Rosas et al., 2000).      Keterbatasan penggunaan karbohidrat pakan oleh udang merupakan konsekuensi dari adaptasi metabolik untuk menggunakan protein sebagai sumber energi utama.  Hal ini dikarenakan protein merupakan substrat cadangan yang lebih besar pada udang yang dapat dikonversi menjadi glukosa melalui lintasan glukoneogenik (Campbell dan Smith, 1982; Campbell, 1991 dalam Rosas et al., 2000).  Pada ikan rainbow trout diketahui bahwa peningkatan karbohidrat tercerna dapat meningkatkan akumulasinya dalam hati, meskipun pada konsentrasi melebihi 8% dari bobot pakan menyebabkan pertumbuhan menurun (Alsted, 1991).  Dengan jenis ikan yang sama, Brauge et al. (1994) mendapatkan nilai kebutuhan karbohidrat hingga 25%.  Sedangkan Banos et al. (1998) mendapatkan bahwa rainbow trout mampu memanfaatkan karhohidrat yang sangat mudah dicerna hingga konsentrasi 37% dengan pertumbuhan yang masih baik. 
         Secara umum dapat dikatakan bahwa untuk mendukung pertumbuhan maksimum dan pemenuhan kebutuhan energinya, udang membutuhkan protein pakan pada konsentrasi yang tinggi (Deshimaru dan Shigeno, 1972).  Berbagai pendapat telah diberikan untuk menjelaskan fenomena ini (Pascual et al., 1983; Alava dan Pascual, 1987; Shiau dan Peng, 1992; Shiau, 1998; Campbell, 1991 dalam Rosas et al., 2000).  Menurut Dall dan Smith (1986) hal ini terkait dengan kapasitas udang yang terbatas dalam menyimpan senyawa-senyawa cadangan seperti lipid dan karbohidrat. 
       Sebagai akibat yang kemungkinan besar dapat ditimbulkannya adalah ekskresi bahan organik bernitrogen (baik yang berasal dari feses maupun metabolit) maupun pakan yang tidak termakan dalam jumlah yang besar.  Sebagai gambaran dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan nilai ‘food conversion ratio’ (FCR).  FCR merupakan nilai perbandingan yang menggambarkan berapa bobot pakan yang diberikan dan masuk ke dalam tambak guna mencapai satuan bobot udang saat panen.  Jadi, bilamana diasumsikan bahwa nilai FCR adalah 1.5-2.0 (Tabel 1, untuk tambak intensif) maka berarti bahwa untuk mencapai 1 kg bobot (basah) udang diperlukan pakan (kering) sebanyak 1.5-2.0 kg.  Dengan demikian terdapat buangan yang setara dengan bobot pakan (kering) sebesar 0.5-1.0 kg yang tertinggal di lingkungan untuk setiap 1 kg udang yang dihasilkan.  Nilai ini akan meningkat hingga 6 kali lipat atau lebih bilamana perhitungan didasarkan pada konversi bobot pakan basah ke bobot udang basah, yaitu sekitar 3.0-6.0 kg atau lebih yang berupa limbah buangan.  Bila rata-rata produksi udang sebesar 10 ton/ha/tahun (Tabel 1), maka potensi limbah buangan dari tambak tersebut adalah sebesar 30-60 ton/ha/tahun.  Suatu nilai yang sangat fantastik!!.  
 
2.2.  Pendekatan Masalah
      Untuk pertumbuhannya, udang memerlukan pakan.  Pada budidaya intensif pakan diberikan secara berlebihan.  Pada kondisi ini, pakan harus memenuhi persyaratan dalam hal kelayakan nutrisi, sifat fisik, serta pengelolaan pakan yang tepat.  Kelayakan nutrisi dapat dilihat dari kelengkpan dan keseimbangan nutriennya, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral.  Sifat fisik pakan, pada umumnya dilihat dari stabilitas pakan, yaitu ketahanannya untuk tidak hancur, terurai, atau tercuci dalam air.  Pengelolaan pakan meliputi penentuan jumlah, ukuran dan bentuk pakan, serta frekuensi, waktu, dan cara pemberian pakan.
        Pakan secara langsung menentukan pertumbuhan. Dalam ekosistem tambak, tidak semua pakan yang diberikan dapat dimakan oleh udang.  Sebagian sisa pakan akan tersuspensi di dalam air dan sebagian besar lainnya akan mengendap di dasar tambak.  Penguraian bahan organik sisa pakan tersebut akan memerlukan oksigen.  Dengan demikian penambahan bahan organik secara langsung akan meningkatkan penggunaan oksigen di lingkungan tambak.  Kondisi ini akan terus berjalan sampai titik kritis yang menyebabkan terjadinya deplisit oksigen.  Selanjutnya, penguraian bahan organik tersebut akan berjalan dalam kondisi anaerobik yang akan menghasilkan amonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S).  Ke dua gas tersebut bersifat toksik dan dapat menghambat pertumbuhan udang sampai dengan mematikan. 
        Kondisi lingkungan tambak yang mengandung banyak sisa bahan organik dapat menyebabkan dua hal, yaitu udang mengalami tekanan fisiologis diluar toleransinya serta menurunnya daya tahan udang terhadap penyakit.  Salah satu penyakit udang yang diyakini disebabkan oleh jenis virus sama adalah ‘white spot disease’.  Namun karena diteliti oleh berbagai kelompok peneliti dari berbagai negara, maka mereka menamakannya dengan istilah masing masing, yaitu ‘white spot disease’, WSD, SEMBV, WSSV, WSBV, HHNBV, RV-PJ, PmNOBII, PmNOBIII.
         Berbagai masalah yang telah diuraikan tersebut di atas dapat diperbaiki dengan tiga cara, yaitu melalui: (1) manajemen biota, (2) manajemen lingkungan, serta (3) manajemen pakan yang baik.  Dari beberapa alternatif, budidaya dengan resirkulasi merupakan suatu alternatif yang mempunyai prospek cerah untuk dikembangkan guna menanggulangi permasalahan dalam budidaya udang.
 
III.  APLIKASI TEKNOLOGI
       Secara umum, Chen (2000) berpendapat bahwa kesuksesan suatu budidaya perairan (akuakultur) tergantung pada: 1) Pengendalian siklus reproduksi suatu organisme budidaya secara lengkap; diketahuinya latar belakang genetika induk dengan baik; dan penentuan (diagnose) penyakit serta pencegahan terjadinya penyakit yang dilakukan secara cermat; 2) Penyediaan air yang cukup dengan kualitas baik; dan pemahaman yang benar berdasarkan fisiologi lingkungan serta kondisi nutrisi; dan 3) Aplikasi teknik manajemen inovatif.
3.1.  Manajemen Biota
3.1.1.  Udang
         Keragaan udang dewasa umumnya sudah dapat ditunjukkan oleh laju pertumbuhannya selama tahap larva dan postlarva.  Apabila pada tahap awal udang dapat menunjukkan respon positif terhadap pakan yang diberikan, yang ditunjukkan oleh kelancaran perkembangan mulai dari nauplius, zoea, mysis sampai postlarva (PL), maka diharapkan perkembangan selanjutnya di tambak juga akan mengikuti respon awal tersebut.  Sebagai dasar perbandingan, pada umumnya perkembangan nauplius menjadi zoea memerlukan waktu 2-3 hari, zoea-mysis 3 hari, mysis-PL1 3-4 hari, serta PL1 sampai siap tebar 12-15 hari.  Perkembangan metamorfosis tersebut paling mudah untuk dijadikan indikator tentang keragaan pertumbuhan udang karena kelancaran dalam pergantian kulit (‘molting’) menunjukkan pertumbuhan yang positif bagi larva udang.  Pada beberapa kasus, perkembangan larva yang terlambat (‘kuntet’) akan menghasilkan laju pertumbuhan yang kecil selama pemeliharaan di tambak. 
         Agar benur dapat beradaptasi dengan lingkungan tambak, maka dilakukan aklimatisasi.  Proses ini akan dilakukan terutama untuk parameter suhu dan salinitas air.  Dengan proses ini diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan hidup udang yang selanjutnya meningkatkan nafsu makan serta secara langsung akan meningkatkan derajad kelangsungan hidup (SR).
          Untuk memperoleh pertumbuhan yang baik (yaitu metamorfosis yang cepat dan serentak) diperlukan kondisi media optimal.  Faktor fisika dan kimia air yang perlu diperhatikan adalah suhu, salinitas, pH, dan lain-lainnya.  Sebagai contoh, suhu yang stabil (29±1)˚C akan menyediakan kondisi optimum untuk aktivitas metabolisme tubuh.  Salinitas yang mendekati titik isosmotik cairan tubuhnya dapat menghemat energi yang seharusnya untuk memelihara tingkat kerja osmotik, dapat digunakan untuk energi tumbuh.  Selain itu diperlukan pakan (alami dan buatan) dengan kandungan nutrisi yang lengkap dan sesuai pada masing-masing fase.  Dengan kondisi demikian, metamorfosis yang cepat dan serentak dapat dicapai, sehingga pertumbuhan pada fase berikutnya (PL, juvenil dan dewasa) di tambak tidak terganggu. 
          Manajemen terhadap faktor luar (fisika, kimia air dan nutrisi ) sifatnya temporal dalam satu musim pemeliharaan, maka memperbaiki keragaan biota harus ditempuh dari dalam dan permanen (perbaikan mutu genetik).  Perbaikan mutu genetik (seleksi) dapat diarahkan kepada trait-trait tertentu sesuai yang diinginkan, misalnya trait pertumbuhan, trait metamorfosis, dan sebagainya.  Pembentukan strain demikian dapat dilakukan dengan metoda konvensional (seleksi) atau menggunakan teknologi terkini yaitu penambahan/penyisipan gen tertentu (transgenik).  Dengan pembentukan strain demikian sistem budidaya udang akan dipermudah dan produksi dapat tetap dimaksimalkan.  Manajemen biota secara demikian diharapkan mampu mendukung pertumbuhan udang dengan laju pertumbuhan yang cepat dengan sintasan yang tinggi. 

3.1.2. Penyakit
        Dalam kegiatan budidaya udang windu, penyakit merupakan salah satu kendala atau masalah yang dihadapi.  Pengendalian penyakit harus dilakukan sejak dini,  dan dimulai dari awal budidaya, baik pada pembenihan maupun pembesaran udang windu.  Hal yang harus diperhatikan dalam tindakan itu adalah keamanan, efisiensi dan ekonomi bagi penggunaan agent atau substansi yang dipakai.
Keamanan, efisiensi dan ekonomi merupakan suatu pertimbangan yang utama.  Bahan-bahan kimia yang dipakai dalam jangka panjang dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan, kesehatan konsumen dan resistensi patogen.  Atas dasar ini, perlu dicari alternatif jenis tindakan yang aman untuk diaplikasikan.
      Karena itu, dalam kegiatan budidaya berwawasan lingkungan maka bioremediasi, vaksin dan imunostimulan merupakan alternatif terhadap upaya yang memenuhi tiga tinjauan seperti di atas (aman, efisien dan ekonomis).  Raa et al. (1998) menyebutkan bahwa imunostimulan dapat diterapkan dalam kegiatan budidaya.  Hal yang sama juga diungkapkan oleh sejumlah peneliti diantaranya Anderson (1992).
         Untuk menghadapi penyakit yang disebabkan oleh bakteri, berbagai macam kemoterapeutika sering kali diberikan sejak telur sampai udang siap dipanen. Akhirnya bahan tersebut tidak memberikan hasil yang memuaskan untuk mengobati karena berkembangnya bakteri patogen yang resisten, yang mencapai lebih dari 50% (Angka 1997). Munculnya bakteri patogen pada udang yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotika ini merupakan masalah lain bagi lingkungan perairan.  Sifat resistensi bakteri patogen terhadap berbagai antibiotika ini dapat dipindahkan ke bakteri patogen pada manusia melalui perairan. Akibatnya, bila bakteri patogen ini menyebabkan orang sakit, maka pengobatan dengan antibiotika tidak mempan.
        Pada sistem budidaya udang dengan cara konvensional, air buangan tanpa pengolahan yang dikeluarkan dari tempat budidaya ke lingkungan merupakan polutan yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan perairan.

3.2.   Manajemen Lingkungan
         Beberapa kegiatan untuk mengelola budidaya dengan metode ramah lingkungan dapat dilakukan melalui:
1. Sistem resirkulasi tertutup yang bertujuan agar metabolit dan bahan toksik tidak mencemari lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan sistem filter (Chen, 2000) sebagai berikut:
a.    Sistem filter biologi dapat dilakukan dengan menggunakan bakteri nitrifikasi, alga, atau tanaman air untuk memanfaatkan amonia atau senyawa organik lainnya.
b. Sistem penyaringan non-biologi, dapat dilakukan dengan cara fisika dan kimia     terhadap polutan yang sama.
2. Pemanfaatan mangrove untuk menurunkan kadar limbah budidaya udang, merupakan suatu cara bioremediasi dalam budidaya udang sistem tertutup (Ahmad dan Mangampa,  2000) 
3. Penggunaan bakteri biokontrol atau probiotik untuk mengurangi penggunaan antibiotik sehingga pencemaran di perairan dapat dikurangi (Tjahjadi et al., 1994)
4.   Dengan cara transgenik, yaitu menggunakan gene cecropin b yang diisolasi dari ulat sutera Bombyx mori. Udang transgenik yang mengandung rekombinan cecropin akan mempunyai aktivitas litik tinggi terhadap bakteri patogen pada udang (Chen, 2000). 
         Kualitas air dalam tambak terkait dengan sumber air yang masuk dalam tambak, proses biologis dalam tambak dan proses fisik, seperti ganti air dan aerasi.  Pengelolaan kualitas lingkungan tambak yang bertujuan untuk menyediakan habitat yang layak bagi kehidupan udang dimulai dari saat membuat desain tambak.  Terdapat perbedaan yang substansial antara desain tambak intensif yang konvensional (sistem terbuka) (Gambar 1) dengan desain tambak yang tertutup (Gambar 2).
         Tambak udang sistem tertutup (resirkulasi) bertujuan untuk mengurangi kontaminasi dengan lingkungan sekitarnya.  Air baru yang berasal dari laut ditampung di tandon utama, diberi perlakuan kaporit 30 ppm untuk memberantas seluruh hama penular sekaligus dengan partikel virus (virion) bebas di dalam air (Kokarkin dan Kontara, 2000).  Kajian berikutnya dosis khlorin dapat diturunkan antara 5-20 ppm.  Kemudian air disalurkan ke petak tambak.  Air buangan sisa budidaya disalurkan ke petak tandon sekunder, kemudian ditampung di petak tandon utama.  Dengan sistem ini selama budidaya penambahan air dari luar seminal mungkin, dan hanya diperlukan untuk mengganti air yang menguap dan yang merembes ke tanah, serta mempertahankan salinitas air tetap layak.
         Teknik terakhir yang dikembangkan oleh Balai Budidaya Air Payau Jepara dalam mengatasi serangan hama dan penyakit dari air masuk adalah dengan mengggunakan multi spesies ikan liar yang dipelihara di tandon.  Jenis ikan yang digunakan adalah keting (Ketangus sp), bandeng (Chanos chanos), kakap putih (Lates calcalifer), petek (Leiognatus insidiator), dan wering (Kurtus indicius) untuk memakan udang liar yang berpotensi sebagai pembawa agen penyakit sehingga tidak menularkannya pada udang yang sehat di dalam wadah pemeliharaan (Gambar  3).  
          Untuk mendapatkan kondisi optimum dalam budidya udang perlu diperhatikan hal-hal berikut.  Sebuah tambak harus memiliki kandungan oksigen minimal 3,5 mg/l untuk tambak tradisional dan minimal 4 mg/l untuk tambak intensif dan semi-intensif.  Untuk mendapatkan kondisi optimum bagi kelangsungan budidaya udang maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1.     Sebuah tambak semi-intensif dan intensif harus melakukan pemasangan kincir air (paddle wheel) sesuai dengan target produksi: satu kincir untuk target 300 kg udang.
2.    Pemupukan air harus dilakukan sejak bulan pertama ditentukan berdasarkan rasio N dan P di perairan hingga mendekati 16:1 agar fitoplankton kelompok Bacillariophyceae atau Chlorophyceae dapat tumbuh dengan stabil.
3.     Pada tingkat kehidupan udang yang tinggi atau kepadatan udang lebih dari 15 ekor/m2  pada bulan ketiga, pemberian pakan harus diperkaya dengan vitamin C dan E, serta kalsium, masing-masing 500 mg, 300 SI, dan 10 g/kg pakan, dua hari sekali, pada jam pakan tertinggi.  Pengkayaan pakan ini diperlukan sekali karena suplai dari alam sudah sangat terbatas (Kokarkin dan Kontara, 2000).
4.     Pergantian air harus dilakukan dengan rutin sebesar 10-20% per hari, sejak bulan kedua (Fast, 1992); namun tetap dengan air yang telah diendapkan selama empat hari dalam petak ikan atau diendapkan satu hari setelah disaring halus dan diberi kaporit sebanyak 5 ppm.  Pergantian air diperlukan untuk memasok unsur-unsur mikro bagi pertumbuhan fitoplankton dan untuk membuang sisa metabolik yang larut di dalam air (Kokarkin dan Kontara, 2000).
 
3.3.  Manajemen Pakan
          Desakan internasional agar tetap memperhatikan dan melestarikan lingkungan mendorong nutritionists dan aquaculturists untuk membuat formulasi pakan yang ‘ramah’ atau berwawasan lingkungan, termasuk manajemen pemberiannya agar lebih efisien.  Terkait dengan masalah tersebut adalah: (a) pengadaan pakan dengan kandungan protein rendah, (b) optimalisasi profil/konfigurasi asam amino, (c) optimalisasi perbandingan protein terhadap energi (P/E ratio) dari pakan, (d) perbaikan kualitas bahan pakan, (e) pemilihan bahan pakan yang mempunyai daya cerna tinggi, dan (e) optimalisasi strategi manajemen pakan.  Dengan strategi seperti pada point (a) sampai dengan (e) diharapkan dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan efisiensi pakan dan menekan permasalahan yang ditimbulkan oleh limbah bernitrogen.    
Penggunaan karbohidrat dalam pakan adalah penting dikarenakan beberapa hal: (a) sebagai sumber energi yang jauh lebih murah bila dibandingkan dengan protein, maka karbohidrat dapat menekan ongkos produksi dan yang pada akhirnya dapat menurunkan total harga pakan (Cruz-Suarez et al., 1994), (b) pada tingkat tertentu, karbohidrat mampu men-substitusi energi yang berasal dari protein pakan (‘sparing’ protein pakan) dan karena itu efisiensi pemanfaatan protein pakan untuk pertumbuhan dapat ditingkatkan (Rosas et al., 2000), (c) sebagai binder, karbohidrat (terutama yang berasal dari bahan pakan tertentu) mampu meningkatkan kualitas fisik pakan dan menurunkan prosentase ‘debu pakan’ (Hastings dan Higgs, 1980), (d) sebagai komponen tanpa nitrogen, maka penggunaan karbohidrat dalam jumlah tertentu dalam pakan dapat menurunkan sejumlah limbah ber-nitrogen sehingga meminimalkan dampak negatif dari pakan terhadap lingkungan (Kaushik dan Cowey, 1991), yang juga merupakan media hidup dari udang itu sendiri. 
          Jenis dan tingkat karbohidrat pakan mempengaruhi laju pertumbuhan udang.  Misalnya, kelangsungan hidup juvenil udang windu dipengaruhi oleh tingkat karbohidrat; sedangkan sukrosa dan glukosa adalah lebih baik daripada trehalosa dalam meningkatkan pertumbuhannya (Pascual et al., 1983; Alava dan Pascual, 1987).  Dalam penelitiannya, Rosas et al. (2000) mendapatkan bahwa pakan dengan kandungan karbohidrat 10% belum cukup untuk memenuhi kebutuhan energi-karbohidrat, dan masih perlu energi dari protein pakan.  Selanjutnya dijelaskan bahwa nilai maksimum dari tingkat glikogen dan aktifitas α-amilase terjadi pada udang yang diberi pakan mengandung 21% karbohidrat.      Udang mampu mencerna karbohidrat pakan menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana dan dapat diserap melalui dinding usus sebelum masuk ke dalam aliran darah.  Daya cerna atau kemampuan dalam memanfaatkan karbohidrat bervariasi dan terkait dengan sumber/asal karbohidrat, spesies, proses pembuatan pakan (pemanasan/penggunaan suhu saat pembuatan pellet), kondisi lingkungan hidupnya (terutama suhu), dan status kesehatan. 
         Mekanisme yang bertanggung-jawab terhadap terbatasnya penggunaan glukosa oleh beberapa spesies udang penaeid belum diketahui sepenuhnya.  Shiau (1998) menjelaskan bahwa hal tersebut dimungkinkan dengan adanya efek fisiologis yang negatif yang disebabkan oleh kejenuhan glukosa, dan hal ini dikarenakan laju absorpsi yang lebih tinggi menyeberangi saluran pencernaan.  Dari penjelasan tersebut, Rosas et al. (2000) menyarankan penggunaan karbohidrat yang lebih kompleks dalam pakan udang, seperti starch, yang mengalami hidrolisis enzimatik sebelum assimilasi.  Diketahui, adanya glukosa dari strach pada situs absorpsi usus dengan laju yang lebih rendah daripada glukosa bebas (Pascual et al., 1983; Alava dan Pascual, 1987; Shiau dan Peng, 1992; Shiau 1998). 
    Namun demikian, penelitian menunjukkan bahwa udang dari spesies tertentu mampu memanfaatkpakan pada konsentrasi yang tinggi (Cruz-Suarez et al., 1994).  Hal ini membuktikan bahwa penggunaan karbohidrat dalam pakan berpotensi untuk dapat terus ditingkatkan hingga konsentrasi tertinggi-optimum. 
 
3.3.1.  Kontrol Sistem Akuakultur
         Kebutuhan protein pakan yang tinggi dapat berarti limbah bernitrogen dan biaya pakan yang tinggi pula.  Sebanyak kurang lebih 25% nitrogen pakan dimanfaatkan oleh organisme target (udang atau ikan), sisanya diekskresikan sebagai ammonia atau sebagai N-organik dalam feses atau sisa pakan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas air (Hargreaves, 1998; Avnimelech, 1999).  Karena itu, peningkatan prosentase karbohidrat yang diberikan secara langsung ke dalam pakan hingga kebutuhan maksimum sering dilakukan.  Disamping itu, karbohidrat dapat pula diberikan secara tidak langsung melalui biosintesis protein mikrobial.  Penambahan karbohidrat dilakukan sebagai bagian dari skema pemberian pakan.  Pada kasus ini, penambahan substrat berkarbon menyebabkan ‘recycling’ dan meningkatkan penggunaan protein melalui penggunaan protein-protein mikroba.  Pendekatan metode ini telah dirintis oleh Avnimeleh (1999), yaitu penambahan substrat berkarbon guna menurunkan N-organik dan memproduksi protein mikroba dalam sistem akuakultur. 
          Percobaan ini dapat diterapkan baik pada ikan maupun udang, yang penting adalah bahwa spesies terpilih dapat memanen bakteri dan mampu manfaatkan protein mikrobial.  Dijelaskan bahwa hubungan antara penambahan karbohidrat, penurunan NH4-OH dan produksi protein mikrobial tergantung dari koefisien konversi mikroba, C/N ratio dalam biomas mikroba, dan kandungan karbon dari materi yang ditambahkan (Avnimeleh, 1999).  Efisiensi konversi mikroba didefinisikan sebagai prosentase dari C-terasimilasi berkenaan dengan C-pakan yang dimetabolisme; dan nilai tersebut berada pada kisaran 40-60%. 
          Pendekatan ini mempunyai prospek penting untuk aktivitas akuakultur dimasa mendatang.  Avnimelech (1999) mengemukakan beberapa alasan: (a) peraturan lingkungan melarang pengeluaran air kaya nutrien ke lingkungan, (b) bahaya akan masuknya patogen ke dalam lingkungan perairan, dan (c) biaya yang tinggi untuk memompa air dalam jumlah besar.  Pendekatan ini terlihat merupakan suatu cara yang praktis dan tidak mahal untuk menurunkan akumulasi nitrogen inorganik dalam kolam. 
Dengan menggunakan sistem tersebut maka dapat dikatakan bahwa protein dimakan oleh ikan dua kali, pertama dalam pakan dan kemudian dipanen lagi sebagai protein mikroba.  Sistem tersebut juga memungkinkan protein untuk dapat digunakan lebih lanjut.  Bilamana protein mikrobial diperhitungkan ke dalam protein pakan, maka sistem ini benar-benar mampu menurunkan total protein pakan, misalnya dari 30% hingga menjadi 23%.  Disamping itu, dengan mengikuti prinsip-prinsip tersebut maka dimungkinkan untuk dilakukan kegiatan budidaya perikanan di padang pasir. 
   
3.3.2.  Strategi Pemberian Pakan
            Hormon berperan dalam regulasi pertumbuhan dan penggunaan nutrien pada ikan.  Konsekuensinya adalah bahwa sistem endokrin ikan peka terhadap perubahan-perubahan nutrien yang masuk ke dalam tubuh.  Karbohidrat tercerna diduga berperan dalam regulasi produksi hormon pituitary dan thyroid, sedangkan hormon tersebut meregulasi pertumbuhan dan penggunaan energi (MacKenzie, 1998; Banos et al., 1998).  Insulin dan glukagon, selain meregulasi metabolisme karbohidrat dan lipid, juga meregulasi pertumbuhan.  Ikan yang diberi pakan berkabohidrat lebih tinggi menunjukkan kandungan insulin, plasma darah, dan cadangan glikogen jaringan yang lebih tinggi pula.
           Dalam papernya, MacKenzie (1998) mengemukakan peran penting dari berbagai hormon yang terkait dengan regulasi karbohidrat pakan dan yang pada akhirnya dapat dipergunakan sebagai strategi dalam pemberian pakan.  Dijelaskan bahwa puasa meningkatkan sirkulasi dan sekresi hormon pituitary, yaitu hormon pertumbuhan, yang telah sangat dikenal sebagai salah satu hormon anabolik.  Hormon pertumbuhan ini menggunakan pengaruh somatotropiknya melalui stimulasi produksi IGF (insulin-like growth factor) pada jaringan target.  Namun, jumlah reseptor hormon pertumbuhan menurun selama puasa sehingga jaringan tersebut kehilangan sensitifitas (kepekaan)-nya terhadap stimulasi, dan mengakibatkan penurunan produksi IGF.  Hal ini mungkin merupakan alasan utama pertumbuhan yang menurun, meskipun selama puasa sirkulasi hormon pertumbuhan meningkat (yaitu dengan menghilangkan feedback negatif dari IGF).  Peningkatan hormon pertumbuhan yang tinggi dan yang tetap terjadi selama puasa mungkin masih tetap mendukung pertumbuhan tulang dan lipolisis.  Dengan demikian, pengaturan yang tepat antara pemberian pakan (‘feeding’) dan puasa (‘fasting’) masih tetap memberikan kesempatan pada ikan untuk tumbuh normal, dan bahkan dapat menurunkan depot lemak tubuh (sehingga diperoleh daging ikan yang rendah kandungan lemaknya, ‘lean flesh’).  Karena itu, cukup beralasan untuk mengasumsikan bahwa: ‘Konsumsi pakan meningkatkan produksi hormon anabolik untuk langsung menggunakan nutrien tercerna.  Peningkatan hormon anabolik tersebut yang terjadi setelah pemberian pakan kemudian secara langsung mungkin mengaktifkan proses-proses yang mendorong peningkatan pertumbuhan seperti transport nutrien intestinal atau sintesis protein.  Karena itu, kemungkinan yang ada adalah bahwa periode puasa dapat dijadwalkan kedalam strategi pengaturan pemberian pakan untuk mengaktifkan respon-respon endokrin yang mengurangi lipogenesis atau mendorong terjadinya lipolisis’. 
         Puasa (‘fasting’) memberikan efek endokrin yang berbeda bila dibandingkan dengan pembatasan pemberian pakan (‘food restriction’).  Farbridge et al. (1992) mendapatkan bahwa level hormon pertumbuhan menurun pada rainbow trout yang diberi makan terbatas, namun sebaliknya, sering ditemukan bahwa hormon pertumbuhan meningkat pada ikan yang dipuasakan.  Disimpulkan bahwa status fisiologis yang diakibatkan oleh pembatasan pemberian pakan secara substansial berbeda dengan yang terjadi selama puasa penuh.  Ditambahkan bahwa puasa yang berkepanjangan justru mendorong terjadinya proses-proses katabolisme seperti mobilisasi protein untuk mempertahankan kehidupan ikan.  Dengan demikian, perlu dikaji periode waktu yang tepat antara hari-hari pemberian pakan (‘feeding periods’) dan puasa (‘fasting time’). 
 
IV.  KESIMPULAN
       Sistem budidaya udang windu secara tertutup dapat dipakai sebagai alternatif budidaya yang berwawasan lingkungan untuk menghasilkan produksi udang yang tinggi secara lestari.  Kinerja sistem budidaya tersebut akan lebih baik bila didukung dengan manajemen biota, manajemen lingkungan dan manajemen pakan.

KEPUSTAKAAN
 Ahmad. T. and Mangampa, M., 2000.  The use of  mangrove stands for bioremediation in a closed shrimp culture system. In: Hardjito, L. (Ed.).  International Symposium on Marine Biotechnology.  Center for Coastal and Marine Resources Studies, IPB, Jakarta, Indonesia, p.: 112-120. 
 Alava, V.R. and Pascual, F.P., 1987.  Carbohydrate requirements of P. monodon Fabricius juveniles.  Aquaculture, 61: 211-217.
 Alsted, N.S., 1991.  Studies on the reduction of discharges from fish farms by modification of the diet.  In: Cowey, C.B. and Cho, C.Y. (Eds.).  Nutritional Strategies & Aquaculture Waste.  Fish Nutr. Res. Lab., Dept. of  Nutr. Sci., Univ. of  Guelph, Guelph, Ontario, pp.: 77-89.
 Anderson, D.P., 1992.  Immunostimulant, adjuvants and vaccine carriers in fish: Aplications to Aquaculture.  Animal Rev. of Fish Diseases, 21: 281-307. 
 Angka, S.L., 1997.  Antibiotic sensitivity and pathogenicity of aeromonas and vibrio isolates in Indonesia. In.: Flegel, T.W. and Mac Rae, I.H. (eds.). Diseases in Asian Aquaculture III.  Fish Health Section. Asian Fisheries Society, Manila.
 Anonimus, 1978.  Manual on pond culture of penaeid shrimp.  Asean National Coord. Agency of the Philippines.
 Avnimelech, Y., 1999.  Carbon/nitrogen ratio as a control element in aquaculture systems.  Aquaculture, 176: 227-235.
 Bailey-Brock, J.H. and Moss, S.M., 1992.  Penaeid taxonomy, biology and zoogeography.  In.: Fast, A.W. and Lester, L.J.  (Eds.). Marine Shrimp Culture: Principles and Pactices, pp.: 9-28. 
 Basoeki, D.M., 2000.  Sumbangan subsektor budidaya udang dalam pencapaian target protekan 2003: Sebuah Studi Kasus di TIR Terpadu PT. Centralpertiwi Bahari.  Sarasehan Akuakultur Nasional, Bogor.
 Banos, N., Baro, J., Castejon, C., Navarro, I., and Gutierrez, J., 1998.  Influence of high-carbohydrate enriched diets on plasma insulin levels and insulin and IGF-I receptors in trout.  Regulatory Peptides, 77: 55-62.
 Boyd, C.E., 1990.  Water quality in ponds for aquaculture.  Alabama Agricultural Experimental Station, Auburn University, Alabama,  482 p. 
 Brauge, C., Medale, F. and Corraze, G., 1994.  Effect of dietary carbohydrate levels on growth, body composition and glycaemia in rainbow trout, Oncorhynchus mykiss, reared in seawater.  Aquaculture, 123: 109-120.
 Brett, J.R., 1979.  Environmental factor and growth.  In.: Hoar, W.S., Randall, D.J. and Brett, J.R.  (Eds.).  Fish Physiology.  Vol. VIII.  Bioenergeticts and growth.  Acad. Press, London, pp.: 599-675. 
 Campbell, P.N. and Smith, A.D., 1982.  Biochemistry illustrated.  Churchill Livingstone, New York, 225 p.
 Chen, T.P., 1976.  Aquaculture practices in Taiwan.  Page Bros Ltd., Norwich, 162 p.
 Chen, J.-C. dan Wang, T.-C., 1990.  Culture of tiger shrimp and red-tailed shrimp in a semi-static system.  In: Hirono R. and Hanyu I. (Eds.).  The second Asian Fisheries Forum.  Asian Fisheries Sosiety, Manila, Philippines,  p.:77-80.
 Chen, T.T., 2000.  Aquaculture biotechnology and fish disease. In: Hardjito, L. (Ed.).  International Symposium on Marine Biotechnology.  Center for Coastal and Marine Resources Studies, IPB, Jakarta, Indonesia, p.: 3-8.
 Chien, Y.-H., 1992.  Water quality requirements and manajement for marine shrimp culture.  In: Wyban J. (Ed.).  Proceedings of the special session on shrimp farming.  World Aquaculture Society, Baton Rouge, L.A., U.S.A.,  p.: 144-156.
Clara dan Suhardjo, 1988.  Prinsip-prinsip ilmu gizi.  Pusat Antar Universitas-IPB, LSI, Bogor.
 Cruz-Suarez, L.E., Ricque, M.D., Pinal-Mansilla, J.D. and Wesche-Ebelling, P., 1994.  Effect of different carbohydrate sources on the growth of P. vannamei.  Economical impact.  Aquaculture, 123: 349-360.
 Dall, W. and Smith, D.M., 1986.  Oxygen consumption and ammonia-N excretion in fed and starved tiger prawns Penaeus esculentus Haswell.  Aquaculture, 55:23-33.
 Deshimaru, O. and Shigeno, K., 1972.  Introduction to the artificial diet for prawn, Penaeus indicus.  Aquaculture, 1: 115-133. 
 Farbridge, K.J., Flett, P.A., Leatherland, J.F., 1992.  Temporal effect of restricted diet and compensatory increased dietary intake on thyroid function, plasma growth hormone levels and tissue lipid reserves of rainbow trout Oncorhynchus mykiss.  Aquaculture, 104: 157-174. 
 Fast, A.W., 1992.  Penaeid growthout systems: An Overview.  In.: Fast, A.W. and Lester, L.J.  (Eds.). Marine Shrimp Culture: Principles and Pactices, pp.: 345-354. 
 Gjedrem, T., 1983.  Quantitative genetics of fish. 

Friday, February 24, 2017

no image

MAKALAH TENTANG : PENCEMARAN AIR

KATA PENGANTAR

          Dengan menyebut nama Allah Subhana Wa Ta’ala, penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.   Makalah ilmiah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
        Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
        Akhir kata penulis berharap semoga makalah ilmiah tentang Pencemaran Air ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
                                                                                 

                                                                                                                                        Penulis.


                                                                     DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………..i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………...ii

BAB I  PENDAHULUAN………………………………………………………………………...1

A.    Latar Belakang……………………………………………………………………….............1

B.    Rumusan Masalah…………………………………………………………………….............2

C.    Tujuan…………………………………………………………………………………..........2

D.    Manfaat………………………………………………………………………………...........2

BAB II ANALISIS MASALAH DAN PEMBAHASAN………………...……………………….3

A.    Analisis Masalah……………………………………………………………………..............3

B.    Pembahasan………………………………………………………………………….............5

BAB III  PENUTUP……………………………………………………………………………..15

A.    Kesimpulan………………………………………………………………………….............15

B.    Saran………………………………………………………………………………..............15

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….............17


                                                                      BAB I
                                                            PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
         Air merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi, sehingga tidak ada kehidupan seandainya di bumi ini tidak ada air. Dapatkah Anda bayangkan jika di dunia ini tidak ada air, ya tentu saja tidak pernah ada kehidupan seperti yang ada sekarang ini.Air memang mutlak diperlukan dalam kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.Tanpa air kehidupan tidak dapat berlangsung.Demikian juga dalam kehidupan kita sehari-hari, air sangat diperlukan untuk berbagai kegiatan di dalam rumah tangga, juga untuk pertanian, transportasi serta rekreasi. Di dalam industri, air digunakan antara lain sebagai bahan pengolah, pendingin dan pembangkit tenaga.
        Air tersebut memiliki standar 3B yaitu tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak beracun.Tetapi adakalanya air dapat menjadi malapetaka bilamana tidak tersedia dalam kondisi tidak benar, baik kualitas maupun kuantitasnya.Kita sering menjumpai air yang berwarna keruh dan berbau serta bercampur dengan sampah seperti kaleng, plastik, dan sampah organik. Kondisi seperti ini diakibatkan oleh aktivitas manusia yang tidak peduli akan kebersihan lingkungan. Karena kita ketahui manusia adalah salah satu komponen lingkungan hidup yang memiliki kemampuan untuk sengaja mengubah lingkungan hidupnya menjadi lebih baik atau lebih buruk.
        Air merupakan pelarut yang baik, sehingga air di alam tidak pernah murni akan tetapi selalu mengandung berbagai zat terlarut maupun zat tidak terlarut serta mengandung mikroorganisme atau jasad renik. Apabila kandungan berbagai zat maupun mikroorganisme yang terdapat di dalam air melebihi ambang batas yang diperbolehkan, kualitas air akan terganggu, sehingga tidak bisa digunakan untuk berbagai keperluan baik untuk air minum, mandi, mencuci atau keperluan lainya. Air yang terganggu kualitasnya ini dikatakan sebagai air yang tercemar.
       Seperti yang kita ketahui, Banjarmasin terkenal dengan julukan sebagai “kota seribu sungai”. Seharusnya hal tersebut dapat membuat kota kita ini menjadi lebih indah, namun kenyataannya justru membuat segudang masalah pencemaran yang perlu penanganan serius. Pemandangan disekitar pemukiman penduduk di sepanjang Sungai Barito kini semakin kumuh saja, air sungai berwarna coklat dan kadang kehitam-hitaman.Sampah-sampah baik organik maupun anorganik yang berserakan disungai itu semakin menambah buruknya khualitas air.Belum lagi persoalan tentang pendangkalan dan kehilangan garis pantai sehingga sungai menjadi pendek dan menyempit.Bahkan pemerintah sendiri justru ikut-ikutan mengeruk bantalan sungai martapura sampai 30 meter ke arah badan sungai.
           Dari hari ke hari bila kita perhatikan, makin banyak berita – berita mengenai pencemaran air.Untuk mendapatkan air bersih yang sesuai dengan standar tertentu saat ini menjadi barang yang mahal karena air sudah banyak tercemar oleh kegiatan rumah tangga, limbah dari kegiatan industri dan kegiatan lainnya.Dan ketergantungan manusia terhadap air pun semakin besar sejalan dengan perkembangan penduduk yang makin meningkat.


B.    Rumusan Masalah

1.    Apa yang dimaksud dengan pencemaran lingkungan?

2.    Mengapa sungai di beberapa daerah kota Banjarmasin menjadi tercemar?

3.    Apa penyebab sungai di beberapa daerah kota Banjamasin menjadi tercemar?

4.    Bagaimana dampak pencemaran sungai bagi lingkungan disekitarnya?

5.    Bagaimana solusi untuk menanggulangi pencemaran air sungai di daerah kota Banjarmasin?


C.    Tujuan

1.    Memenuhi tugas mata kuliah kimia lingkungan,

2.    Mengetahui arti dari pencemaran air,

3.    Mengetahui beberapa faktor penyebab pencemaran air,

4.    Mengetahui dampak yang terjadi akibat pencemaran air,

5.    Mengetahui cara untuk penanggulangan pencemaran air, khususnya di beberapa daerah di kota Banjarmasin.


D.    Manfaat

1.     Dapat memberikan informasi dan gambaran tentang bagaimana dampak dari pencemaran air yang akan berakibat keracunan hingga kematian,

2.    Dapat memberikan masukan dan pengetahuan kepada masyarakat agar nantinya peduli akan kebersihan lingkungan.


                                                                           BAB II
                                            ANALISIS MASALAH DAN PEMBAHASAN

A.    Analisis Masalah
          Masalah yang di analisis dalam makalah ini adalah tentang pencemaran di beberapa sungai di daerah kota  Banjarmasin. Wilayah sungai yang di observasi yaitu sungai di wilayah kelurahan Alalak Selatan, kelurahan Kuin Alalak, kelurahan Belitung Darat, dan kawasan Lingkar Selatan. Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan, didapat bahwa beberapa wilayah sungai tersebut sudah tercemar.Hal ini dapat dilihat dari sifat fisik sungai yang warnanya kekuningan, bahkan ada yang berwarna cokelat, yang telah bercampur dengan sampah-sampah rumah tangga dan kotoran-kotoran lainnya.

         Masalah lain yang kami dapatkan saat observasi adalah penggunaan air sungai yang tidak sesuai dengan fungsinya. Banyak masyarakat disekitar sungai yang membangun kakus (jamban) di tepi sungai dan melakukan aktivitas buang hajatnya disana.Masyarakat yang bertempat tinggal di tepi sungai juga sudah terbiasa mandi dan mencuci disungai.Hal yang dapat menyebabkan pencemaran adalah penggunaan sabun saat mereka mandi maupun mencuci, dimana sabun mengandung zat yang dapat membahayakan apabila masuk kedalam tubuh.Karena utamanya air sungai digunakan sebagai sumber air minum oleh masyarakat.

Banyaknya sampah disekitar sungai juga merupakan salah satu penyebab dari pencemaran air.Kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungannya mengakibatkan mereka dengan seenaknya membuang sampah ke sungai.Hal ini juga dapat disebabkan kurangnya tempat pembuangan sampah (TPS) di daerah itu, dimana sepanjang observasi kami tidak melihat ada satupun tempat sampah di beberapa wilayah yang kami kunjungi tersebut. Sampah-sampah ini apabila dibiarkan terlalu lama maka akan semakin menumpuk dan dapat menyumbat aliran air di sungai tersebut. Apabila hujan turun dengan lebat, maka sungai akan meluap dan bisa menyebabkan banjir.
           Jika pembicaraan berpindah ke sungai yang lebih besar, penyebab pencemaran salah satunya adalah adanya pemanfaatan sungai sebagai transportasi bagi pengangkutan batubara.Tidak menutup kemungkinan bahwa batubara yang sedang diangkut itu sebagian jatuh ke sungai dan mengakibatkan sungai tercemar.
         Banyaknya pabrik yang berada di tepi sungai, seperti pabrik plywood, pabrik kayu, dan sebagainya juga mengakibatkan tercemarnya air sungai. Para pegawai pabrik membuang hasil pekerjaan mereka yang tidak layak ke sungai, padahal itu tidak sepantasnya mereka lakukan, mengingat penggunaan air sungai yang biasanya digunakan untuk keperluan rumah tangga seperti mandi, mencuci, dan utamanya sebagai sumber air minum bagi masyarakat sekitar.
        Untuk sumber air minum, biasanya warga mengambilnya langsung dari air sungai, kemudian didiamkan beberapa saat atau beberapa hari, bisa juga dengan menggunakan kaporit atau tawas agar kotoran mengendap didasar air. Namun, zat-zat kimia lain tidak semua yang ikut mengendap. Sangat merugikan apabila ada zat-zat kimia berbahaya akibat dari pencemaran tadi yang tidak ikut mengendap dan kemudian masuk kedalam tubuh.
       Selain itu, hasil observasi yang kami dapatkan di daerah sungai di dekat PT. Pertamina adalah tercemarnya air sungai di wilayah tersebut oleh minyak hasil limbah pabrik.Bahkan, disekitar sungai banyak terdapat eceng gondok atau tanaman air yang mengganggu pemandangan dan juga mngakibatkan sampah-sampah tersangkut, sehingga air sungai terlihat kotor.

1.    Faktor-faktor penyebab pencemaran lingkungan.

       Pencemaran air ini terjadi antara lain karena pembuangan sampah atau hasil sampingan lainnya ke dalam sungai, laut, saluran-saluran air, atau danau. Pencemaran air juga bisa dikatakan adanya bahan-bahan beracun yang terdapat dalam tanah kemudian terbawa aliran air, atau terbawanya bahan pencemar udara oleh air hujan.

Penyebab pencemaran sungai dan laut adalah:

 kumuhan kilang, pada umumnya kumuhan kilang seperti sisa toksoid dibuang ke sungai atau laut.

Perbuatan individu, pembuangan bahan-bahan buangan seperti sampah, minyak, dan najis.

2.    Dampak dari pencemaran Air.

Banyak sekali dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran air antara lain :

1) Membahayakan kesehatan manusia

         Penggunaan air sungai untuk konsumsi, seperti minum, memasak, dam sebagainya, termasuk membuang kotoran biologis maupun kotoran non-biologis memicu tumbuh kembangnya kuman penyebab penyakit, seperti diare, demam berdarah, dan penyakit-panyakit kulit seperti kudis, gatal-gatal, dan sebagainya. Berdasarkan penelitian balai teknik kesehatan lingkungan Banjarmasin pada Bulan Mei 2004, menunjukkan adanya kuman penyebab penyakit diare pada bahan air sungai maupun air bersih yang menjadi obyek penelitian.

Peran air sebagai pembawa penyakit menular bermacam-macam antara lain :

 air sebagai media untuk hidup mikroba pathogen.

air sebagai sarang insekta penyebar penyakit, jumlah air yang tersedia tak cup, sehingga manusia bersangkutan tak dapat membersihkan diri.

Air sebagai media untuk hidup vector penyakit, ada beberapa penyakit yang masuk dalam katagori water-borne diseases, atau penyakit-penyakit yang dibawa oleh air, yang masih banyak terdapat di daerah-daerah.Penyakit-penyakit ini dapat menyebar bila mikroba penyebabnya dapat masuk ke dalam sumber air yang dipakai masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan jenis mikroba yang dapat menyebar lewat air antara lain, bakteri, protozoa dan metazoa.

2) Membahayakan kehidupan hewan dan tumbuh-tumbuhan

Pencemaran air juga membawa dampak pada kehidupan air. Hewan seperti ikan, udang, siput, atau ketam akan mati serta tumbuhan seperti ganggang dan lain-lainnya juga mati dengan tumpahan minyak, pembuangan sampah, sisa-sisa air sabun dan sisa toksid.

        Banyaknya zat pencemar pada air limbah akan menyebabkan menurunnya kadar oksigen terlarut dalam air tersebut. Sehingga akan mengakibatkan kehidupan dalam air yang membutuhkan oksigen terganggu serta mengurangi perkembangannya. Selain itu kematian dapat pula disebabkan adanya zat beracun yang juga menyebabkan kerusakan pada tanaman dan tumbuhan air. Akibat matinya bakteri-bakteri, maka proses penjernihan air secara alamiah yang seharusnya terjadi pada air limbah juga terhambat. Dengan air limbah menjadi sulit terurai. Panas dari industri juaga akan membawa dampak bagi kematian organisme, apabila air limbah tidak didinginkan dahulu.

3) Terganggunya keindahan lingkungan

         Dengan adanya pencemaran air yang menyebabkan air menjadi keruh/tidak jernih, membuat hilangnya pemandangan yang asri dan indah pada aliran sungai dan sekitarnya. Semakin banyaknya zat organic yang dibuang ke lingkungan perairan, maka perairan tersebut akan semakin tercemar yang biasanya ditandai dengan bau yang menyengat disamping tumpukan yang dapat mengurangi estetika lingkungan. Masalah limbah minyak atau lemak juga dapat mengurangi estetika.Selain bau, limbah tersebut juga menyebabkan tempat sekitarnya menjadi licin. Sedangkan limbah detergen atau sabun akan menyebabkan penumpukan busa yang sangat banyak. Inipun juga dapat mengurangi estetika.

4) Dampak terhadap kualitas air tanah

         Pencemaran air tanah oleh tinja yang biasa diukur dengan faecal coliform telah terjadi dalam skala yang luas, hal ini telah dibuktikan oleh suatu survey sumur dangkal di Jakarta. Banyak penelitian yang mengindikasikan terjadinya pencemaran tersebut.

B.    Pembahasan

         Pencemaran lingkungan hidup menurut UU Republik Indonesia No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan pencemaran lingkungan hidup yaitu; masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup, oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. Demikian pula dengan lingkungan air yang dapat pula tercemar karena masuknya atau dimasukannya mahluk hidup atau zat yang membahayakan bagi kesehatan.Air dikatakan tercemar apabila kualitasnya turun sampai ke tingkat yang membahayakan sehingga air tidak bisa digunakan sesuai peruntukannya.

        Asas-asas ilmu lingkungan yang berkaitan dengan pembahasan makalah ini mengenai pencemaran air yaitu “kemampuan lingkungan habitat untuk menyokong satu materi ada batasnya”.Berdasarkan analisis diatas, pada saat ini sungai terus menerus dicemari oleh berbagai macam zat yang dihasilkan dari beberapa kegiatan, seperti industri, pabrik, maupun pemukiman warga. Apabila pencemaran terhadap air sungai terus menerus dibiarkan, maka kemampuan lingkungan sungai tersebut untuk menampung (menyokong) zat-zat pencemar akan ada batasnya dan pada akhirnya akan menimbulkan kerusakan lingkungan itu sendiri.

        Berdasarkan PP no 82 tahun 2001 pasal 8 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, klasifikasi dan kriteria mutu air ditetapkan menjadi 4 kelas yaitu:

Kelas 1 : air yang dapat digunakan untuk bahan baku air minum atau peruntukan lainnya mempersyaratkan mutu air yang sama

Kelas 2 : air yang dapat digunakan untuk prasarana/ sarana rekreasi air, budidaya ikan air tawar, peternakan, dan pertanian

Kelas 3 : air yang dapat digunakan untuk budidaya ikan air tawar, peternakan dan pertanian

Kelas 4 : air yang dapat digunakan untuk mengairi pertanaman/ pertanian.

        Salah satu dampak negatif kemajuan ilmu dan teknologi yang tidak digunakan dengan benar adalah terjadinya polusi (pencemaran). Polusi adalah peristiwa masuknya zat, energi, unsur atau komponen lain yang merugikan kedalam lingkungan akibat aktivitas manusia atau proses alami. Dan segala sesuatu yang menyebabkan polusi disebut Polutan. Sesuatu benda dapat dikatakan polutan bila :

1. Kadarnya melebihi batas normal

2. Berada pada tempat dan waktu yang tidak tepat.

          Polutan dapat berupa debu, bahan kimia, suara, panas, radiasi, makhluk hidup, zat-zat yang dihasilkan makhluk hidup dan sebagainya.Adanya polutan dalam jumlah yang berlebihan menyebabkan lingkungan tidak dapat mengadakan pembersihan sendiri (regenerasi).Oleh karena itu, polusi terhadap lingkungan perlu dideteksi secara dini dan ditangani segera dan terpadu.Polusi Air adalah peristiwa masuknya zat, energi, unsur atau komponen lainnya kedalam air sehingga kualitas air terganggu. Kualitas air terganggu ditandai dengan perubahan bau, rasa dan warna.

        Indikator atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar adalah adanya perubahan atau tanda yang dapat diamati yang dapat digolongkan menjadi 6:

1. Pengamatan secara fisis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan tingkat kejernihan air (kekeruhan), perubahan suhu, warna dan adanya perubahan warna, bau dan rasa.

2. Pengamatan secara kimiawi, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan zat kimia yang terlarut, perubahan pH.

3. Pengamatan secara biologis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan mikroorganisme yang ada dalam air, terutama ada tidaknya bakteri pathogen.

Beberapa parameter yang digunakan untuk menentukan kualitas air diantaranya adalah :

– DO (Dissolved Oxygen)

– BOD (Biochemical Oxygen Demand)

– COD (Chemical Oxygen Demand), dan

– Jumlah total Zat terlarut

1.    Air Yang Tercemar > DO/ Dissolved Oxygen (Oksigen Terlarut) Yang dimaksud adalah oksigen terlarut yang terkandung di dalam air, berasal dari udara dan hasil proses fotosintesis tumbuhan air. Oksigen diperlukan oleh semua mahluk yang hidup di air seperti ikan, udang, kerang dan hewan lainnya termasuk mikroorganisme seperti

bakteri.

        Agar ikan dapat hidup, air harus mengandung oksigen paling sedikit 5 mg/ liter atau 5 ppm (part per million). Apabila kadar oksigen kurang dari 5 ppm, ikan akan mati, tetapi bakteri yang kebutuhan oksigen terlarutnya lebih rendah dari 5 ppm akan berkembang.

Apabila sungai menjadi tempat pembuangan limbah yang mengandung bahan organik, sebagian besar oksigen terlarut digunakan bakteri aerob untuk mengoksidasi karbon dan nitrogen dalam bahan organik menjadi karbondioksida dan air. Sehingga kadar oksigen terlarut akan berkurang dengan cepat dan akibatnya hewan-hewan seperti ikan, udang dan kerang akan mati. Lalu apakah penyebab bau busuk dari air yang tercemar? Bau busuk ini berasal dari gas NH3 dan H2S yang merupakan hasil proses penguraian bahan organik lanjutan oleh bakteri anaerob.

2.    Air Yang Tercemar > BOD (Biochemical Oxygen Demand)

         BOD (Biochemical Oxygen Demand) artinya kebutuhan oksigen biokimia yang menunjukkan jumlah oksigen yang digunakan dalam reaksi oksidasi oleh bakteri. Sehingga makin banyak bahan organik dalam air, makin besar B.O.D nya sedangkan D.O akan makin rendah. Air yang bersih adalah yang B.O.D nya kurang dari 1 mg/l atau 1 ppm, jika B.O.D nya di atas 4 ppm, air dikatakan tercemar.

3.    Air Yang Tercemar > COD (Chemical Oxygen Demand) COD (Chemical Oxygen Demand) sama         dengan BOD, yang menunjukkan jumlah oksigen yang digunakan dalam reaksi kimia oleh bakteri. Pengujian COD pada air limbah memiliki beberapa keunggulan dibandingkan pengujian BOD.Keunggulan itu antara lain :

• Sanggup menguji air limbah industri yang beracun yang tidak dapat diuji dengan BOD karena bakteri akan mati.

• Waktu pengujian yang lebih singkat, kurang lebih hanya 3 jam

4.    Air Yang Tercemar > Zat Padat Terlarut

         Air alam mengandung zat padat terlarut yang berasal dari mineral dan garam-garam yang terlarut ketika air mengalir di bawah atau di permukaan tanah. Apabila air dicemari oleh limbah yang berasal dari industri pertambangan dan pertanian, kandungan zat padat tersebut akan meningkat. Jumlah zat padat terlarut ini dapat digunakan sebagai indikator terjadinya pencemaran air. Selain jumlah, jenis zat pencemar juga menentukan tingkat pencemaran. Air yang bersih adalah jika tingkat D.O nya tinggi, sedangkan B.O.D dan zat padat terlarutnya rendah.

Sumber pencemar air

        Banyak penyebab pencemaran air tetapi secara umum dapat dikategorikan sebagai sumber kontaminan langsung dan tidak langsung.Sumber langsung meliputi efluen yang keluar dari industri, TPA (tempat Pembuangan Akhir Sampah), dan sebagainya.Sumber tidak langsung yaitu kontaminan yang memasuki badan air dari tanah, air tanah, atau atmosfer berupa hujan.Tanah dan air tanah mengandung mengandung sisa dari aktivitas pertanian seperti pupuk dan pestisida.Kontaminan dari atmosfer juga berasal dari aktivitas manusia yaitu pencemaran udara yang menghasilkan hujan asam.

        Pencemar air dapat diklasifikasikan sebagai organik, anorganik, radioaktif, dan asam/basa.Saat ini hampir 10 juta zat kimia telah dikenal manusia, dan hampir 100.000 zat kimia telah digunakan secara komersial.Kebanyakan sisa zat kimia tersebut dibuang ke badan air atau air tanah.Pestisida, deterjen, PCBs, dan PCPs (polychlorinated phenols), adalah salah satu contohnya.Pestisida digunakan di pertanian, kehutanan dan rumah tangga.PCB, walaupun telah jarang digunakan di alat-alat baru, masih terdapat di alat-alat elektronik lama sebagai insulator, PCP dapat ditemukan sebagai pengawet kayu, dan deterjen digunakan secara luas sebagai zat pembersih di rumah tangga.

Pencemaran air dapat disebabkan oleh berbagai hal dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda:

a. Meningkatnya kandungan nutrien dapat mengarah pada eutrofikasi.

b. Sampah organik seperti air comberan (sewage) menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen pada air yang menerimanya yang mengarah pada berkurangnya oksigen yang dapat berdampak parah terhadap seluruh ekosistem.

c. Industri membuang berbagai macam polutan ke dalam air limbahnya seperti logam berat, toksin organik, minyak, nutrien dan padatan. Air limbah tersebut memiliki efek termal, terutama yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik, yang dapat juga mengurangi oksigen dalam air.

Pencemaran air disebabkan oleh aktifitas manusia sehari hari yang dapat mengakibatkan adanya perubahan pada kualitas air tersebut.Pencemaran air ini terjadi di sungai, lautan, danau dan air bawah tanah.

Menurut Wardhana (1995), komponen pencemaran air yang berasal dari industri, rumah tangga (pemukiman) dan pertanian dapat dikelompokkan sebagai bahan buangan:

 Padat

 Organik dan olahan bahan makanan

 Anorganik

 Cairan minyak

 Zat kimia

         Yang dimaksud bahan buangan padat adalah adalah bahan buangan yang berbentuk padat, baik yang kasar atau yang halus, misalnya sampah. Buangan tersebut bila dibuang ke air menjadi pencemaran dan akan menimbulkan pelarutan, pengendapan ataupun pembentukan koloidal. Apabila bahan buangan padat tersebut menimbulkan pelarutan, maka kepekatan atau berat jenis air akan naik. Kadang-kadang pelarutan ini disertai pula dengan perubahan warna air. Air yang mengandung larutan pekat dan berwarna gelap akan mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam air. Sehingga proses fotosintesa tanaman dalam air akan terganggu. Jumlah oksigen terlarut dalam air menjadi berkurang, kehidupan organism dalam air juga terganggu.

       Bahan buangan organik umumnya berupa limbah yang dapat membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme, sehingga bila dibuang ke perairan akan menaikkan populasi mikroorganisme. Kadar BOD dalam hal ini akan naik. Tidak tertutup kemungkinan dengan berambahnya mikroorganisme dapat berkembang pula bakteri pathogen yang berbahaya bagi manusia.Demikian pula untuk buangan olahan bahan makanan yang sebenarnya adalah juga bahan buangan organic yang baunya lebih menyengat. Umumnya buangan olahan makanan mengandung protein dan gugus amin, maka bila didegradasi akan terurai menjadi senyawa yang mudah menguap dan berbau busuk (misal. NH3).

         Bahan buangan anorganik sukar didegradasi oleh mikroorganisme, umumnya adalah logam. Apabila masuk ke perairan, maka akan terjadi peningkatan jumlah ion logam dalam air. Bahan buangan anorganik ini biasanya berasal dari limbah industri yag melibatkan penggunaan unsure-unsur logam seperti timbal (Pb), Arsen (As), Cadmium (Cd), air raksa atau merkuri (Hg), Nikel (Ni), Calsium (Ca), Magnesium (Mg) dll. Kandungan ion Mg dan Ca dalam air akan menyebabkan air bersifat sadah. Kesadahan air yang tinggi dapat merugikan karena dapat merusak peralatan yang terbuat dari besi melalui proses pengkaratan (korosi). Juga dapat menimbulkan endapan atau kerak pada peralatan. Apabila ion-ion logam berasal dari logam berat maupun yang bersifat racun seperti Pb, Cd ataupun Hg, maka air yang mengandung ion-ion logam tersebut sangat berbahaya bagi tubuh manusia, air tersebut tidak layak minum.

          Bahan buangan berminyak yang dibuang ke air lingkungan akan mengapung menutupi permukaan air. Jika bahan buangan minyak mengandung senyawa yang volatile, maka akan terjadi penguapan dan luas permukaan minyak yang menutupi permukaan air akan menyusut. Penyusutan minyak ini tergantung pada jenis minyak dan waktu.Lapisan minyak pada permukaan air dapat terdegradasi oleh mikroorganisme tertentu, tetapi membutuhkan waktu yang lama. Lapisan minyak di permukaan akan mengganggu mikroorganisme dalam air. Ini disebabkan lapisan tersebut akan menghalangi diffusi oksigen dari udara ke dalam air, sehingga oksigen terlarut akan berkurang. Juga lapisan tersebut akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam air, sehingga fotosintesapun terganggu. Selain itu, burungpun ikut terganggu, karena bulunya jadi lengket, tidak dapat mengembang lagi akibat kena minyak.

          Perubahan kecil pada temperatur air lingkungan bukan saja dapat menghalau ikan atau spesies lainnya, namun juga akan mempercepat proses biologis pada tumbuhan dan hewan bahkan akan menurunkan tingkat oksigen dalam air. Akibatnya akan terjadi kematian pada ikan atau akan terjadi kerusakan ekosistem. Untuk itu, polusi thermal inipun harus dihindari. Sebaiknya industri-industri jika akan membuang air buangan ke perairan harus memperhatikan hal ini.

         Bahan buangan zat kimia banyak ragamnya, tetapi dalam bahan pencemar air ini akan dikelompokkan menjadi :

a. Sabun (deterjen, sampo dan bahan pembersih lainnya),

b. Bahan pemberantas hama (insektisida),

c. Zat warna kimia,

d. Zat radioaktif

          Adanya bahan buangan zat kimia yang berupa sabun (deterjen, sampo dan bahan pembersih lainnya) yang berlebihan di dalam air ditandai dengan timbulnya buih-buih sabun pada permukaan air. Sebenarnya ada perbedaan antara sabun dan deterjen serta bahan pembersih lainnya. Sabun berasal dari asam lemak (stearat, palmitat atau oleat) yang direaksikan dengan basa Na(OH) atau K(OH), berdasarkan reaksi kimia berikut ini :

C17H35COOH + Na(OH) → C17H35COONa + H2O

Asam stearat basa sabun

         Sabun natron (sabun keras) adalah garam natrium asam lemak seperti pada contoh reaksi di atas. Sedangkan sabun lunak adalah garam kalium asam lemak yang diperoleh dari reaksi asam lemak dengan basa K(OH). Sabun lemak diberi pewarna yang menarik dan pewangi (parfum) yang enak serta bahan antiseptic seperti pada sabun mandi. Beberapa sifat sabun antara lain adalah sebagai berikut:

a. Larutan sabun mempunyai sifat membersihkan karena dapat mengemulsikan kotoran yang melekat pada badan atau pakaian

b. Sabun dengan air sadah tidak dapat membentuk busa, tapi akan membentuk endapan (C17H35COO)2Ca) dengan reaksi:

2(C17H35COONa) + CaSO4 → (C17H35COO)2Ca + Na2SO4


c. Larutan sabun bereaksi basa karena terjadi hidrolisis sebagian.

         Sedangkan deterjen adalah juga bahan pembersih sepeti halnya sabun, akan tetapi dibuat dari senyawa petrokimia. Deterjen mempunyai kelebihan dibandingkan dengan sabun, karena dapat bekerja pada air sadah.Bahan deterjen yang umum digunakan adalah dedocylbenzensulfonat. Deterjen dalam air akan mengalami ionisasi membentuk komponen bipolar aktif yang akan mengikat ion Ca dan/atau ion Mg pada air sadah. Komponen bipolar aktif terbentuk pada ujung dodecylbenzen-sulfonat.Untuk dapat membersihkan kotoran dengan baik, deterjen diberi bahan pembentuk yang bersifat alkalis.Contoh bahan pembentuk yang bersifat alkalis adalah natrium tripoliposfat. Bahan buangan berupa sabun dan deterjen di dalam air lingkungan akan mengganggu karena alasan berikut :

a. Larutan sabun akan menaikkan pH air sehingga dapat mengganggu kehidupan organisme di dalam air.        Deterjen yang menggunakan bahan non-Fosfat akan menaikkan pH air sampai sekitar 10,5-11.

b. Bahan antiseptic yang ditambahkan ke dalam sabun/deterjen juga mengganggu kehidupan mikro organisme di dalam air, bahkan dapat mematikan.

c. Ada sebagian bahan sabun atau deterjen yang tidak dapat dipecah (didegradasi) oleh mikro organisme yang ada di dalam air. Keadaan ini sudah barang tentu akan merugikan lingkungan. Namun akhir-akhir ini mulai banyak digunakan bahan sabun/deterjen yang dapat didegradasi oleh mikroorganisme.

Tingkat pencemaran yang terberat adalah akibat limbah industri yang dibuang ke sungai dan juga tumpahan minyak dilautan.Pencemaran di sungai dan dilautan ini telah menyebabkan ekosistem dan habitat air menjadi rusak bahkan mati.Untuk sungai, pembuangan limbah industri / pabrik telah merusak habitat sungai sepanjang puluhan kilometer.

         Limbah industri ini mengandung logam berat, toksin organik, minyak dan zat lainnya yang memiliki efek termal dan juga dapat mengurangi kandungan oksigen dalam air.Limbah berbahaya ini selain menyebabkan kerusakan bahkan matinya habitat sungai, juga mengakibatkan timbulnya masalah kesehatan bagi masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai yang menggunakan air sungai tsb untuk keperluan MCK (Mandi, Cuci dan Kakus).

         Tidak hanya sepanjang aliran sungai, resapan bahan kimia juga mencemari air bawah tanah sepanjang belasan bahkan puluhan meter dari sungai tsb.Pengeboran air bawah tanah yang dilakukan penduduk di dekat aliran sungai sering kali mendapatkan air bawah tanah yang keruh kehitaman, berbau bahkan berlendir. Dan bila dipaksakan untuk keperluan MCK akan mengakibatkan penyakit dan gatal gatal pada kulit.

Selain limbah industri, limbah rumah tangga juga memiliki peranan yang besar dalam pencemaran air.Limbah rumah tangga ini terbagi menjadi 2 golongan, yakni limbah organik dan anorganik.Limbah organik adalah limbah yang dapat diuraikan oleh bakteri seperti sisa sayuran, buah dan daun daunan. Sementara limbah anorganik tidak dapat diurai oleh bakteri seperti bekas kaca, karet, plastik, logam, kain, kayu, kulit, dan lain – lain.

Penyebab dan Dampak Pencemaran Air :

1. Limbah Pemukiman

          Limbah pemukiman mengandung limbah domestik berupa sampah organik dan sampah anorganik serta deterjen. Sampah organik adalah sampah yang dapat diuraikan atau dibusukkan oleh bakteri.Contohnya sisa-sisa sayuran, buah-buahan, dan daun-daunan.Sedangkan sampah anorganik sepertikertas, plastik, gelas atau kaca, kain, kayu-kayuan, logam, karet, dan kulit.Sampah-sampah ini tidak dapat diuraikan oleh bakteri (non biodegrable). Sampah organik yang  dibuang ke sungai menyebabkan berkurangnya jumlah oksigen terlarut, karena sebagian besar digunakan bakteri untuk proses pembusukannya. Apabila sampah anorganik yang dibuang ke sungai, cahaya matahari dapat terhalang dan menghambat proses fotosintesis dari tumbuhan air dan alga yang menghasilkan oksigen.

         Tentunya kita pernah melihat permukaan air sungai atau danau yang ditutupi buih deterjen.Deterjen merupakan limbah pemukiman yang paling potensial mencemari air.Pada saat ini hampir setiap rumah tangga menggunakan deterjen, padahal limbah deterjen sangat sukar diuraikan oleh bakteri.Sehingga tetap aktif untuk jangka waktu yang lama.Penggunaan deterjen secara besar-besaran juga meningkatkan senyawa fosfat pada air sungai atau danau.Fosfat ini merangsang pertumbuhan ganggang dan eceng gondok. Pertumbuhan ganggang dan eceng gondok yang tidak terkendali menyebabkan permukaan air danau atau sungai tertutup sehingga menghalangi masuknya cahaya matahari dan mengakibatkan terhambatnya proses fotosintesis. Jika tumbuhan air ini mati, akan terjadi proses pembusukan yang menghabiskan persediaan oksigen dan pengendapan bahan-bahan yang menyebabkan pendangkalan.

2. Limbah Industri

          Limbah industri sangat potensial sebagai penyebab terjadinya pencemaran air.Pada umumnya limbah industri mengandung limbah B3, yaitu bahan berbahaya dan beracun. Menurut PP 18 tahun 99 pasal 1, limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang dapat mencemarkan atau merusak lingkungan hidup sehingga membahayakan kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk lainnya. Karakteristik limbah B3 adalah korosif/ menyebabkan karat, mudah terbakar dan meledak, bersifat toksik/ beracun dan menyebabkan infeksi/ penyakit. Limbah industri yang berbahaya antara lain yang mengandung logam dan cairan asam. Misalnya limbah yang dihasilkan industri pelapisan logam, yang mengandung tembaga dan nikel serta cairan asam sianida, asam borat, asam kromat, asam nitrat dan asam fosfat.Limbah ini bersifat korosif, dapat mematikan tumbuhan dan hewan air.Pada manusia menyebabkan iritasi pada kulit dan mata, mengganggu pernafasan dan menyebabkan kanker.

3. Limbah Pertambangan

          Limbah pertambangan seperti batubara biasanya tercemar asam sulfat dan senyawa besi, yang dapat mengalir ke luar daerah pertambangan.Air yang mengandung kedua senyawa ini dapat berubah menjadi asam. Bila air yang bersifat asam ini melewati daerah batuan karang/ kapur akan melarutkan senyawa Ca dan Mg dari batuan tersebut. Selanjutnya senyawa Ca dan Mg yang larut terbawa air akan memberi efek terjadinya AIR SADAH, yang tidak bisa digunakan untuk mencuci karena sabun tidak bisa berbuih. Bila dipaksakan akan memboroskan sabun, karena sabun tidak akan berbuih sebelum semua ion Ca dan Mg mengendap. Limbah pertambangan yang bersifat asam bisa menyebabkan korosi dan melarutkan logam-logam sehingga air yang dicemari bersifat racun dan dapat memusnahkan kehidupan akuatik.

Bahan – bahan kimia yang dapat mengganggu

No Bahan-bahan kimia Keterangan

1.Arsen Bersifat karsinogenik dengan melalui kontak pada makanan

2.Barium Bersifat toxis terhadap hati, aliran darah dan nervous

3.Cadmium Sebagai racun yang akut bagi manusia seperti batu ginjal.

4. Chromium Carsinogenik pada pernapasan

5. Timah hitam Sebagai racun pada pekerja dan ikan

6.Merkuri Sebagai racun pada pekerja dan ikan

7. Nitrat Menyebabkan methemogloinema pada bayi

8. Selenium Menyebabkan keracunan pada anak

9. Silver Menyebabkan penyakit agria

10. Sulfat Menyebabkan laxative

11. Besi Menimbulkan koloid yang berwarna dalam air

12. Tembaga Menyebabkan air mempunyai rasa tertentu

13.Klorida Menyebabkan air menjadi asin rasanya

14. Flour Menyebabkan penyakit flur esis

Mencegah/Mengurangi Dampak Pencemaran Air

          Limbah atau bahan buangan yang dihasilkan dari semua aktifitas kehidupan manusia, baik dari setiap rumah tangga, kegiatan pertanian, industri serta pertambangan tidak bisa kita hindari. Namun kita masih bisa mencegah atau paling tidak mengurangi dampak dari limbah tersebut, agar tidak merusak lingkungan yang pada akhirnya juga akan merugikan manusia.

         Untuk mencegah atau paling tidak mengurangi segala akibat yang ditimbulkan oleh limbah berbahaya, setiap rumah tangga sebaiknya menggunakan deterjen secukupnya.Tidak menggunakan deterjen fosfat, karena senyawa fosfat merupakan makanan bagi tanaman air seperti enceng gondok yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran air.

          Kemudian memilah sampah organik dari sampah anorganik.Sampah organik bisa dijadikan kompos, sedangkan sampah anorganik bisa didaur ulang. Pemerintah bekerjasama dengan World Bank, pada saat ini tengah mempersiapkan pemberian insentif berupa subsidi bagi masyarakat yang melakukan pengomposan sampah kota.

Beberapa manfaat pengomposan sampah antara lain :

• Mengurangi sampah di sumbernya

• Mengurangi beban volume di TPA

• Mengurangi biaya pengelolaan

• Menciptakan peluang kerja

• Memperbaiki kondisi lingkungan

• Mengurangi emisi gas rumah kaca

• Penggunaan kompos mendukung produk organik

         Setiap pabrik / kegiatan industri sebaiknya memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), untuk mengolah limbah yang dihasilkannya sebelum dibuang ke lingkungan sekitar. Dengan demikian diharapkan dapat meminimalisasi limbah yang dihasilkan atau mengubahnya menjadi limbah yang lebih ramah lingkungan.

Mengurangi penggunaan bahan-bahan berbahaya dalam kegiatan pertambangan atau menggantinya dengan bahan-bahan yang lebih ramah lingkungan.Atau diharuskan membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah pertambangan, sehingga limbah bisa diolah terlebih dahulu menjadi limbah yang lebih ramah lingkungan, sebelum dibuang keluar daerah pertambangan.

         Kita harus bertanggung jawab terhadap berbagai sampah seperti makanan dalam kemasan kaleng, minuman dalam botol dan sebagainya, yang memuat unsur pewarna pada kemasannya dan kemudian terserap oleh air tanah pada tempat pembuangan akhir.Bahkan pilihan kita untuk bermobil atau berjalan kaki, turut menyumbangkan emisi asam satu hidrokarbon ke dalam atmosfir yang akhirnya berdampak pada siklus air alam.Menjadi konsumen yang bertanggung jawab merupakan tindakan yang bijaksana. Sebagai contoh, kritis terhadap barang yang dikonsumsi, apakah nantinya akan menjadi sumber bencana yang persisten, eksplosif, korosif dan beracun atau degradable (dapat didegradasi alam)? Apakah barang yang kita konsumsi nantinya dapat meracuni manusia, hewan, dan tumbuhan aman bagi makhluk hidup dan lingkungan?Teknologi dapat kita gunakan untuk mengatasi pencemaran air.Instalasi pengolahan air bersih, instalasi pengolahan air limbah, yang dioperasikan dan dipelihara baik, mampu menghilangkan substansi beracun dari air yang tercemar.Dari segi kebijakan atau peraturanpun mengenai pencemaran air ini telah ada.Bila kita ingin benar-benar hal tersebut dapat dilaksanakan, maka penegakan hukumnya harus dilaksanakan pula. Pada akhirnya, banyak pilihan baik secara pribadi ataupun social (kolektif) yang harus ditetapkan, secara sadar maupun tidak, yang akan mempengaruhi tingkat pencemaran dimanapun kita berada. Walaupun demikian, langkah pencegahan lebih efektif dan bijaksana.

        Melalui penanggulangan pencemaran ini diharapkan bahwa pencemaran akan berkurang dan kualitas hidup manusia akan lebih ditingkatkan, sehingga akan didapat sumber air yang aman, bersih dan sehat. Kendala dalam mengatasi pencemaran air :

1. Kurangnya kesadaran diri dari orang – orang untuk membuang sampah pada tempatnya.

2. Kurangnya sistem drainase di jalan – jalan.

3. Limbah – limbah yang tidak diolah oleh manajemen pabrik dengan baik, sehingga mencemari lingkungan sekitar.

4. Kurangnya perhatian dari pemerintah mengenai pencemaran lingkungan.

Syarat kadar kualitas air yang baik

         Secara fisik kualitas air yang baik adalah bening, tidak keruh, tidak berbau, berasa tawar dan tidak berwarna, serta suhu air hendaknya di bawah suhu udara. Secara kimiawi kualitas air yang baik meliputi pH yang bersifat normal/netral, bahan kimia yang tidak melebihi ambang batas ketetapan serta tingkat kesadahan yang rendah, kekurangan atau kelebihan suatu zat kimia dalm air akan menyebabkan gangguan fisiologis pada manusia.

        Sedangkan secara biologis kualitas air yang sehat harus bebas dari segala bakteri terutama bakteri patogen dan nonpatogen walaupun tidak menimbulkan penyakit namun menyebabkan bau dan rasa tidak enak pada air, serta menyebabkan adanya lendir pada air, serta tidak mengandung bakteri coli lebih dari 1 coli/100 mL air. Bakteri patogen menyebabkan penyakit pada manusia, organisme ini bersal dari bakteri, protozoa dan virus..yang mungkin ada dalam air misalnya bakteri typhsum, vibrio colerae, bakteri dysentriae, bakteri enteritis, dan entamoeba hystolotica. Air yang mengandung golongan coli, dianggap telah terkontaminasi dengan kotoran manusia.dalam pemerikasaan bakteriologik, tidak langsung diperiksa air tersebut mengandung bakteri patogen, tetapi diperiksa dengan indikator bakteri golongan coli. Pencemaran air akan menimbulkan terganggunya/hilangnya persyaratan kualitas air tersebut baik secara fisik, kimia maupun biologi.

Syarat fisik Kadar yang disyaratkan Kadar yang tidak boleh dilampaui

Keasaman 7,0 – 8,5 Di bawah 6,5 dan di atas 9,5

Bahan-bahan padat Tidak melebihi 50 mg/L Tidak melebihi 1500 mg/L

Warna Tidak melebihi 6 satuan Tidak melebihi 50 satuan

Rasa Tidak mengganggu –

Bau Tidak mengganggu –

Jenis Bahan Kadar yang dibenarkan (mg/liter)

Flour (F) 1-1,5

Clor (Cl) 250


Arsen (As) 0,05

Ph 6,5 – 9,0

CO2 0

Besi (Fe) 0,3

Tembaga (Cu) 1

Zat organik 10

Komposisi ideal bahan kimia dalam air

Cara memperoleh air bersih

       Air yang kita minum harus bersih sesuai standar, demikian juga air yang kita gunakan untuk mandi, mencuci, memasak, juga harus bersih.Bersih disini artinya bersih dari segi fisik, kimiawi dan biologis.Bersih secara fisik artinya jernih, tidak berwarna, tawar dan tidak berbau.

Secara kimiawi air yang kualitasnya baik adalah yang memiliki pH netral, tidak mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) dan ion-ion logam, serta bahan organik.Sedangkan bersih secara biologis artinya tidak mengandung mikroorganisme seperti bakteri baik yang patogen/ menyebabkan penyakit atau yang apatogen.

Ada 2 cara untuk mendapatkan air bersih dalam skala terbatas yaitu :

• Tanpa Bahan Kimia, dan

• Dengan Menambahkan Bahan Kimia.

         Kedua cara penjernihan air ini melalui 2 tahap, yaitu tahap pengendapan dan tahap penjernihan. Media penyaring yang digunakan adalah; pasir, arang batok, ijuk dan kerikil. Pada cara yang kedua, ditambahkan bahan kimia berupa tawas, kapur dan kaporit ke dalam bak pengendap untuk membantu menggumpalkan zat kimia pencemar.

Cara memperoleh air bersih tanpa bahan kimia

         Cara ini biasanya digunakan untuk sumber air terbuka dengan menggunakan 3 macam bak yaitu bak pengendap, bak penyaring dan bak penampung air bersih, yang ukurannya tergantung volume air yang akan dialirkan. Mula-mula air dari sumbernya dialirkan ke bak pengendap.Selanjutnya lewat saluran bambu yang pada bagian ujungnya di beri kawat kasa, dari bak pengendap air dialirkan ke dalam bak penyaring melalui parit yang berbelok-belok dan berbatuan untuk mendapatkan kandungan oksigen.Atau jika tidak mungkin parit dapat diganti dengan saluran bambu. Bak penyaring ini telah diisi dengan media penyaring, yang disusun berturut-turut dari bagian dasar bak berupa batu setinggi 10 cm, kerikil 10 cm, pasir halus setinggi 20 cm, arang 5 cm, ijuk 10 cm, pasir halus 15 cm dan lapisan paling atas diisi ijuk lagi setinggi 10 cm. Setelah melewati bak penyaring air di tampung di dalam bak penampung air bersih. Untuk keperluan minum dan masak, air ini tetap harus dimasak agar kumannya mati

Cara memperoleh air bersih dengan menambahkan bahan kimia

         Pada cara kedua ini digunakan 2 buah drum yang berukuran sama yang dilengkapi dengan keran air, sebagai bak pengendap dan bak penyaring. Tinggi keran air dari dasar drum kira-kira 5-10 cm (harus lebih tinggi dari lumpur yang akan terkumpul). Tetapi drum bisa juga diganti dengan gentong. Setelah air kotor masuk ke drum pengendap, masukkan 1 gr tawas/ 1 gr kapur/ 2,5 gr kaporit untuk setiap 10 liter air, lalu diaduk perlahan ke satu arah. Pengadukan sebaiknya dilakukan pada malam hari sehingga pengendapan berlangsung sempurna pada keesokan paginya.


                                                                     BAB III
                                                                   PENUTUP


B.KESIMPULAN

            Kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi, sehingga tidak ada kehidupan seandainya di bumi ini tidak ada air. Air memang mutlak diperlukan dalam kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.Tanpa air kehidupan tidak dapat berlangsung. Demikian juga dalam kehidupan kita sehari-hari, air sangat diperlukan

Pencemaran Air adalah peristiwa masuknya zat, energi, unsur atau komponen lainnya kedalam air sehingga kualitas air terganggu. Kualitas air terganggu ditandai dengan perubahan bau, rasa dan warna. padatan. Air limbah tersebut memiliki efek termal, terutama yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik, yang dapat juga mengurangi oksigen dalam air.

           Pencemaran air disebabkan oleh aktifitas manusia sehari hari yang dapat mengakibatkan adanya perubahan pada kualitas air tersebut.Pencemaran air ini terjadi di sungai, lautan, danau dan air bawah tanah.

A.    Untuk mencegah atau paling tidak mengurangi segala akibat yang ditimbulkan oleh limbah berbahaya maka dilakukalah Penanggulangan pencemaran air, dengan cara :

a. Limbah harus diolah lagi sehingga menghasilkan zat-zat yang tidak menyebabkan pencemaran lingkungan.

b. Membersihkan air limbah industri yang mengandung berbagai polutan terlebih dahulu sebelum meninggalkan kompleks industri.

c. Membuang bahan buangan ke tempat-tempat khusus, agar secara semi natural akan dihancurkan oleh organisme dari alam.

d. Air yang tercemar dibersihkan secara mekanik. Secara kimia dengan diberi bahan-bahan tertentu dan secara biologi dengan

memberi tumbuhan yang berguna sehingga senyawa yang berbahaya dapat terambil oleh air.


C.    SARAN

1.    Pemerintah Daerah diharapkan ikut serta dalam upaya penanggulangan pencemaran lingkungan, khususnya pencemaran air.

Air merupakan untuk berbagai kegiatan di dalam rumah tangga, juga untuk pertanian, transportasi serta rekreasi. Di dalam industri, air digunakan antara lain sebagai bahan pengolah, pendingin dan pem

D.    Pencemaran air dapat disebabkan oleh berbagai hal dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda:

a. Meningkatnya kandungan nutrien dapat mengarah pada eutrofikasi.

b. Sampah organik seperti air comberan (sewage) menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen pada air yang menerimanya yang mengarah pada berkurangnya oksigen yang dapat berdampak parah terhadap seluruh ekosistem.

c. Industri membuang berbagai macam Masyarakat diharapkan agar menjaga lingkungannya dengan tidak seenaknya membuang sampah ke

2.    sungai.

3.    Diharapkan kepada pabrik – pabrik yang berada di tepi sungai jangan membuang hasil pekerjan yang tidak layak ke sungai.

4.    Diharapkan Setiap pabrik / Kegiatan industri sebaiknya memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), untuk mengolah limbah yang dihasilkannya sebelum dibuang ke lingkungan sekitar.


DAFTAR PUSTAKA


•    BPLHD Jawa Barat. 2009. Pencemaran Air. http://www.bplhdjabar.go.id/index.php/did-you-know/lingkungan/305-pencemaran-air. Diakses tanggal 22 februari 2011.

•    Pandia, Setiaty dkk.1996.Kimia Lingkungan. Jakarta : ITB.

Sastrawijaya, Trena.1991.Pencemaran Lingkungan. Surabaya: Rineka Cipta.

Soemarwoto, Otto. 1984. Pencemaran Air Dan Pemanfaatan Limbah Industri. Jakarta : C.V Rajawali.

•    Sosrodarsono, Suyono dkk. 1976. HIdrologi untuk Pengairan. Jakarta : Pradnya Paramita.

Yusuf. 2009. Dampak Pencemaran Air Bagi Manusia dan Lingkungan.

•    http://www.airminumisiulang.com/news/58/dampak_pencemaran_air_bagi_manusia_dan_lingkungan. Diakses tanggal 22 februari 2011.