--> KUMPULAN MAKALAH | Deskripsi Singkat Blog di Sini

Berbagi Tugas Sekolah Makalah dan Referensi

Thursday, March 02, 2017

no image

MAKALAH TENTANG : PERKEMBANGAN INDIVIDU DALAM BELAJAR

BAB I 
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
         Dalam perkembangan setiap individu sejak lahir hingga akhir hayatnya  pasti akan mengalami proses belajar dan akan menuju tingkat kedewasaan atau kematangannya baik secara langsung maupun tidak langsung, Dalam proses ini perubahan tidak terjadi  sekaligus tetapi terjadi  secara bertahap.
         Perkembangan individu ditunjukkan bagaimana perkembangan anak-anak, remaja dan dewasa tumbuh dan berkembang secara fisik, psikis dari fase ke fase seperti dalam hal pertumbuhan fisik, kognitif, afektif, sosial, psikomotor, serta moral.
      Fase perkembangan individu juga tidak terlepas dari proses pertumbuhan individu itu sendiri. Perkembangan pribadi individu meliputi beberapa tahap atau periodisasi perkembangan, antara lain perkembangan individu secara didaktis.
         Di dalam bidang kegiatan pendidikan di sekolah atau lembaga pendidikan formal, proses pengajaran dan pembelajaran sangat penting dalam perkembangan belajar individu demi menuju keberhasilannya. Proses pengajaran dan pembelajaran tidak akan bisa berjalan efektif dan efisien apabila seorang pendidik tidak memahami perkembangan peserta didik secara menyeluruh. Untuk itu pendidik memerlukan pengetahuan tentang perkembangan individu dalam belajar.

B.   Rumusan Masalah

      Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah umumnya adalah “ Bagaimanakah perkembangan individu dalam belajar ?” Untuk lebih memudahkan dalam hal pembahasan masalah yang bersifat umum tersebut, berikut ini akan dipaparkan menjadi beberapa sub masalah sebagai beriku:
1.      Bagaimanakah konsep perkembangan individu ?
2.      Bagaimanakah belajar dan fase-fase perkembangan individu dalam belajar?
3.      Bagaimanakah perkembangan individu secara didaktis?

C. Tujuan
         Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu:
1.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah psikologi pendidikan
2.      Untuk mengetahui konsep perkembangan individu
3.      Untuk mengetahui belajar dan fase-fase perkembangan individu dalam belajar
4.      Untuk mengetahui perkembangan individu secara didaktis

                                                                        BAB II
                                                                 PEMBAHASAN

A.    Perkembangan Individu Dalam Belajar

      Perkembangan individu murid, siswa, dan mahasiswa (peserta didik), ditunjukkan bagaimana perkembangan anak-anak, remaja dan dewasa tumbuh dan berkembang secara fisik, psikis dari fase ke fase seperti dalam hal pertumbuhan fisik, kognitif, afektif, sosial, psikomotor, moral. Proses pengajaran dan pembelajaran tidak akan bisa berjalan efektif dan efisien apabila seorang pendidik tidak memahami perkembangan peserta didik secara menyeluruh. Untuk itu pendidik memerlukan pengetahuan tentang perkembangan individu peserta didik.

1.  Konsep Perkembangan Individu
         Perkembangan individu merupakan perubahan yang sistematis, progresif, dan berkesinambungan dalam diri individu sejak lahir hingga akhir hayatnya atau dapat diartikan pula sebagai perubahan-perubahan yang dialami individu menuju tingkat kedewasaan atau kematangannya.
       Yang dimaksud perubahan yang sistematis yaitu perubahan dalam perkembangan itu bersifat saling kebergantungan atau saling mempengaruhi antara satu bagian dengan bagian lainnya baik fisik maupun psikis dan merupakan satu kesatuan yang harmonis. Progresif berarti perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat dan meluas, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Berkesinambungan berarti bahwa perubahan pada bagian atau fungsi organisme itu berlangsung secara beraturan atau berurutan. Perkembangan individu secara fisik terjadi sesuai dengan fase-fase perkembangan, sedangkan secara psikis terjadi perubahan imajinasi fantasi ke realistis.

2.  Belajar dan Fase-fase Perkembangan Individu

         Manusia membutuhkan kepandaian yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, dan ini dapat dicapai melalui belajar. Meskipun bayi yang baru lahir membawa beberapa naluri dan insting dan potensi-potensi, tetapi potensi tersebut tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya pengaruh dari luar. Untuk itu manusia membutuhkan belajar sepanjang kehidupannya, kapanpun dan dimanapun.

Para ahli mendefinisikan belajar sebagai berikut:
a.   Menurut Hilgard, belajar adalah proses yang melahirkan atau mengubah suatu kegiatan melalui jalan  latihan (apakah dalam laboratorium atau dalam lingkungan alamiah).
b.   Morgan, belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.
c.   James P. Chaplin, learning (hal belajar, pengetahuan), yang berarti perolehan dari sembarang perubahan yang relative permanen dalam tingkah laku sebagai hasil praktek atualisasi pengalaman.
Dapat disimpulkan bahwa belajar adalah :
a.      Belajar itu membawa perubahan
b.      Perubahan itu ada pokoknya adalah didapatkannya kecakapan baru
c.      Perubahan itu terjadi karena usaha

        Menurut Havinghurst yang dikutip oleh Made Pidarta, fase-fase perkembangan pada manusia sejak dari masa kanak-kanak sampai masa tua ada enam fase, yaitu:
a.       Fase perkembangan masa kanak-kanak (Infancy & Early Childhood)
Pada masa ini, anak berada pada usia 0-6 tahun dan memiliki ciri -ciri antara lain :
1)      Belajar berjalan, mengambil makanan padat
2)      Belajar bicara
3)      Belajar mengontrol eliminasi (urin & fekal)
4)      Belajar tentang perbedaan jenis kelamin
5)      Membentuk konsep-konsep sederhana mengenai kenyataan sosial dan fisik
6)      Belajar membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mengembangkan hati nurani
7)      Belajar mengadakan hubungan emosi

b.      Fase perkembangan masa anak (Middle childhood)
Pada masa ini, anak berada pada usia 6-12 tahun dan memiliki ciri -ciri        antara lain :
1)      Membangun perilaku yang sehat
2)      Belajar keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan yang luar biasa
3)      Belajar bergaul dengan teman sebaya
4)      Belajar peran sosial terkait dengan maskulinitas dan feminitas
5)      Mengembangkan ketrampilan dasar seperti membaca, menulis dan berhitung
6)      Mengembangkan konsep-konsep yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari
7)      Membangun moralitas, hati nurani dan nilai-nilai
8)      Pencapaian kemandirian
9)      Membangun perilaku dalam kelompok sosial maupun institusi (sekolah)

c.   Fase perkembangan masa remaja (Adolescence)
Pada masa ini, remaja berada pada usia 12-18 tahun dan memiliki ciri -ciri   antara lain :
1)      Membina hubungan baru yang lebih dewasa dengan teman sebaya baik laki maupun perempuan
2)      Pencapaian peran sosial maskulinitas atau feminitas
3)      Pencapaian kemandirian emosi dari orang tua, orang lain
4)      Pencapaian kemandirian dalam mengatur keuangan
5)      Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan secara efektif
6)      Memilih dan mempersiapkan pekerjaan
7)      Mempersiapkan pernikahan dan kehidupan keluarga
8)      Membangun ketrampilan dan konsep-konsep intelektual yang perlu bagi warga negara
9)      Pencapaian tanggungjawab sosial
10)  Memperolah nilai-nilai dan system etik sebagai penuntun dalam berperilaku

d.      Fase perkembangan masa dewasa awal (Early Adulthood)
Pada masa ini, mereka berada pada usia 18-30 tahun dan memiliki ciri -ciri antara lain :
1)      Memilih pasangan
2)      Belajar hidup bersama orang lain sebagai pasangan
3)      Mulai berkeluarga
4)      Membesarkan anak
5)      Mengatur rumah tangga
6)      Mulai bekerja
7)      Mendapat tanggungjawab sebagai warga negara
8)      Menemukan kelompok sosial yang cocok
e.       Fase perkembangan masa setengah baya (Middle-age)

         Pada masa ini, seseorang yang telah dewasa lanjut berada pada usia 30-50 tahun dan memiliki ciri -ciri antara lain :
1)      Mendapat tanggungjawab sosial dan sebagai warga negara
2)      Membangun dan mempertahankan standard ekonomi keluarga
3)      Membimbing anak dan remaja untuk menjadi dewasa yang bertanggungjawab dan menyenangkan
4)      Mengembangkan kegiatan-kegiatan di waktu luang
5)      Membina hubungan dengan pasangannya sebagai individu
6)      Mengalami dan menyesuaikan diri dengan beberapa perubahan fisik
7)      Menyesuaikan diri dengan kehidupan sebagai orang tua yang bertambah tua

f.       Fase perkembangan masa tua (Later maturity)
Pada masa lanjut, mereka berada pada usia 50 tahun lebih dan memiliki      ciri -ciri antara lain :
1)      Menyesuaikan diri dengan penurunan kekuatan fisik dan kesehatan
2)      Menyesuaikan diri dengan situasi pensiun dan penghasilan yang semakin berkurang
3)      Menyesuaikan diri dengan keadaan kehilangan pasangan (suami/istri)
4)      Membina hubungan dengan teman sesama usia lanjut
5)      Melakukan pertemuan-pertemuan sosial
6)      Membangun kepuasan kehidupan
7)      Kesiapan menghadapi kematian
3.      Perkembangan Individu secara Didaktis

     Syamsu Yusuf mengemukakan beberapa tahapan perkembangan individu dengan menggunakan pendekatan didaktis, sebagai berikut:

a.       Masa usia pra sekolah
Masa usia pra sekolah terbagi dua yaitu: (1) masa vital dan (2) masa            estetik.
1)      Masa vital, pada masa ini individu menggunakan fungsi-fungsi biologis untuk menemukan berbagai hal dalam dunianya. Adapun tugas perkembangan pembelajaran pada fase ini adalah:
a)      anak belajar memakan makanan keras;
b)      anak belajar berjalan;
c)      anak belajar berbicara.

2)      Masa estetik; masa ini dianggap sebagai masa perkembangan rasa keindahan. Seseorang individu anak bereksplorasi dan belajar melalui panca inderanya. Adapun tugas pembelajaran pada fase ini, yaitu:

a)      anak belajar membedakan yang baik dan yang buruk;
b)      anak membedakan jenis kelamin, belajar sopan santun;
c)      anak belajar mengeja dan  membaca;
d)     anak belajar mengenal individu secara emosional dan sosial.

b.      Masa usia jenjang pendidikan dasar
        Masa usia pendidikan dasar disebut juga masa intelektual, atau masa keserasian bersekolah pada umur 6-7 tahun anak dianggap sudah matang untuk memasuki sekolah. Adapun ciri-ciri utama anak yang sudah matang,             yaitu:
1) memiliki dorongan untuk keluar dari rumah dan memasuki kelompok sebaya;
2)  keadaan fisik yang memungkinkar anak-anak memasuki dunia bermain dan pekerjaan   yang membutuhkan keterampilan jasmani;
3)  memasuki dunia mental untuk memasuki dunia konsep, logika, dan komunikasi yang luas (Tohirin, 2005:34).
Adapun tugas anak-anak pada usia sekolah dasar ini adalah:
1)      Belajar ketrampilan, jasmani atau fisik melalui bermain.
2)      Belajar bergaul.
3)      Belajar mengembangkan kemampuan menulis, membaca, dan menghitung.
4)      Belajar mengenal kemampuan dirinya.
5)      Belajar memainkan berperan sebagai lelaki maupun wanita.
6)      Belajar membandingkan diri dengan yang lainnya.
7)      Belajar menentukan pilihan yang sesuai dengan keinginannya.
8)      Belajar bersikap bebas atau tidak terikat menentukan sesuatu kehendak.

Masa usia sekolah dasar terbagi dua, yaitu :
1)      masa kelas-kelas rendah dan
2)      masa kelas tinggi.
Adapun ciri-ciri pada masa kelas-kelas rendah (6 atau 7 sampai 9 atau 10 tahun):
1)   Adanya korelasi positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi
2)   Sikap tunduk kepada peraturan-peraturan permainan tradisional.
3)   Adanya kecenderungan memuji diri sendiri
4)   Membandingkan dirinya dengan anak yang lain.
5)   Apabila tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggap tidak penting.
6)   Pada masa ini (terutama usia 6 sampai 8 tahun) anak menghendaki nilai angka rapor yang baik.

Adapun ciri-ciri pada masa kelas-kelas tinggi 9 atau 10 sampai 12 atau 13   tahun:
1)     Minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret.
2)     Sangat realistik, rasa ingin tahu dan ingin belajar.
3)     Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal atau mata pelajaran khusus sebagai mulai menonjolnya bakat-bakat khusus.
4)    Sampai usia 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginannya. Selepas usia ini pada umumnya anak menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha untuk menyelesaikannya.
5)     Pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran tepat mengenai prestasi sekolahnya.
6)    Gemar membentuk kelompok sebaya untuk bermain bersama. Dalam permainan itu mereka tidak terikat lagi dengan aturan permainan tradisional (yang sudah ada), mereka membuat peratuan sendiri
Beberapa faktor penting yang berkaitan pembangunan karakter anak dalam            fase ini antara lain adalah, pola interaksinya dengan ayah, ibu, dan seluruh        anggota keluarga yang lain, keadaan fisiknya, seperti tinggi dan berat           badannya serta hal-hal yang didengar dan dipelajarinya.
Kebutuhan anak di fase remaja ini berbeda dengan kebutuhannya difase-    fase sebelumnya. Hal ini harus diperhatikan oleh orang tua dan diusahakan     untuk memenuhinya. Kebutuhan anak tersebut antara lain adalah sebagai             berikut:
1)  Kebutuhan primer, seperti makanan, minuman, dan pakaian;
2)   Kebutuhan psikis, seperti ketenangan jiwa dan emosi;
3)   Kebutuhan terhadap penerimaan dirinya oleh masyararakat;
4)   Kebutuhan terhadap perhatian dan penghormatan atas dirinya.
5)    Kebutuhan untuk mempelajari banyak hal yang dapat memupuk bakatnya sebagai bekal menempuh perjalanan panjang kehidupannya.
6)    Kebutuhan untuk mengenal pemikiran-pemikiran yang menjadi wacana dalam masyarakat dan mengenal isi dunia, yang tentu saja disesuaikan dengan kemampuan dan kematangan anak seusia ini.
            Adapan langkah-langkah penting yang berhubungan dengan pendidikan     anak di fase ini, sebagai berikut :
1)      Pendidikan ekstra ketat
            Pendidikan di fase ini lebih penting pada fase-fase lainnya karena anak di usia ini relatif masih bersih dan belum tercemari sehingga mau mendengar dan menerima semua nasehat dan bimbingan Karena itu, orang tua harus pandai-¬pandai menggunakan  kesempatan ini untuk mendidiknya dengan benar.
2)      Dorongan untuk belajar
            Pada fase ini, belajar adalah hal yang penting bagi anak¬-anak.                                  Inilah saat yang tepat untuk memberikan dorongan belajar kepada mereka mematangkan kekuatan akal, serta mewujudkan kecintaan  hakiki mereka terhadap penguasaan i1mu.
3)      Pengawasan anak
            Pada dasarnya, pengawasan adalah kewajiban ayah dan ibu.   Mereka berdua memiliki porsi tugas yang disesuaikan, dengan kemampuan dan pengalaman hidup. Karenanya, mereka berdua harus saling membantu. Hal penting lain yang harus diperhatikan adalah bahwa jangan sampai si anak merasa tidak diacuhkan oleh orang tuanya. Kondisi pengawasan melekat harus selalu terjaga. Orang tua terkadang bisa meminta bantuan kepada famili atau kerabat untuk ikut mengawasi anaknya terutama dalam situasi yang di sana orang tua tidak bisa melakukannya.
4)      Menciptakan hubungan dengan teladan yang baik
         Di akhir periode ini, anak-anak akan punya kecenderungan yang  sangat kuat untuk meniru apapun yang ada pada diri kebanyakan  orang. Para psikolog menamai sebuah gejala kejiwaan dari seorang  anak pada usia ini yang selalu ingin meniru orang lain secara fisik  dengan istilah "peniruan". Keinginan ini sangat tepat timbulnya  dan akan cepat juga berhenti ketika sumber peniruan itu tidak ada.
            Ada pula jenis peniruan yang bersifat non fisik. Prosesnya berlangsung perlahan tetapi pengaruhnya sangat kuat menempel pada akal dan jiwa.
c.       Masa usia jenjang pendidikan menengah (masa remaja)
Masa usia jenjang pendidikan menengah bertepatan dengan masa remaja,    yang terbagi ke dalam tiga bagian yaitu:
1)   Remaja awal, biasanya ditandai dengan sifat-sifat negatif dalam jasmani dan mental, prestasi, serta sikap sosial.
2)   Masa remaja; pada masa ini mulai tumbuh dorongan untuk hidup, kebutuhan akan adanya teman yang dapat memahami dan menolongnya. Pada masa ini sebagai masa mencari sesuatu yang dipandang bernilai, pantas dijunjung dan dipuja.
3)    Masa remaja akhir; setelah remaja dapat menentukan pendirian hidupnya, pada dasarnya telah tercapai masa remaja akhir dan telah terpenuhi tugas-tugas perkembangan pada masa remaja yang akan memberikan dasar bagi memasuki masa berikutnya yaitu masa dewasa.
Adapun tugas perkembangan yang harus dicapai pada masa remaja awal,    remaja dan remaja akhir adalah:
1)      Mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya.
2)      Mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita.
3)      Menerima keadaan fisik dan menggunakannya secara efektif.
4)      Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.
5)      Mencapai jaminan kemandirian ekonomi.
6)      Memilih dan mempersiapkan karier.
7)      Mempersiapkan pernikahan dan hidup berkeluarga.
8)   Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-¬konsep yang diperlukan bagi warga negara.
9)    Mencapai perilaku yang bertanggung jawab secara sosial.
10)  Memperoleh seperangkat nilai sistem etika sebagai petunjuk atau pembimbing dalam berperilaku.

d.      Masa usia jenjang pendidikan tinggi (umur 18 hingga umur 25 tahun)
Pada masa ini merupakan pemantapan pendirian hidup. Adapun tugas perkembangan yang harus dicapai pada masa dewasa awal adalah:
1)      Memilih pasangan.
2)      Belajar hidup dengan pasangan.
3)      Memulai hidup dengan pasangan.
4)      Memelihara anak.
5)      Mengelola rumah tangga.
6)      Memulai bekerja.
7)      Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara.

                                                                 BAB III
                                                               PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Perkembangan individu merupakan perubahan yang sistematis, progresif, dan berkesinambungan dalam diri individu sejak lahir hingga akhir hayatnya atau dapat diartikan pula sebagai perubahan-perubahan yang dialami individu menuju tingkat kedewasaan atau kematangannya.
            Belajar merupakan proses perubahan yang terjadi karena adanya usaha. Sedangkan fase-fase perkembangan pada manusia sejak dari masa kanak-kanak sampai masa tua ada enam fase, yaitu:
1.    Fase perkembangan masa kanak-kanak
2.    Fase perkembangan masa anak
3.    Fase perkembangan masa remaja
4.    Fase perkembangan masa dewasa awal
5.    Fase perkembangan masa setengah baya
6.    Fase perkembangan masa tua
            Perkembangan individu secara didaktis sebagai berikut:
1.    Masa usia pra sekolah
2.    Masa usia jenjang pendidikan dasar
3.    Masa usia jenjang pendidikan menengah (masa remaja)
4.    Masa usia jenjang pendidikan tinggi (umur 18 hingga umur 25 tahun)

B.     Saran
Dengan adanya konsep perkembangan individu, belajar dan fase-fase perkembangan individu, serta perkembangan individu secara didaktis peserta didik, pembaca diharapkan mampu mengembangkan segala potensi yang dimiliki oleh peserta didik serta memberi wawasan yang lebih dalam mengenai perkembangan individu dalam belajar dan mampu mengaplikasikan dalam proses belajarmengajar.

DAFTAR PUSTAKA
Iskandar. 2012. Psikologi Pendidikan (Sebuah Orientasi Baru). Jakarta :   Referensi           
no image

MAKALAH TENTANG : GEOGRAFI DIBELAKANG SEJARAH

 KATA PENGANTAR




           Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas terselesaikannya makalah ini. Dan tidak lupa pula kita kirimkan  shalawat dan taslim atas junjungan Nabi besar Muhammad s.a.w. Karana Beliaulah sang revolusioner sejati  yang telah membawa kita dari alam yang gelap menuju alam yang terang benderang seperti yang kita rasakan sekarang ini. Makalah yang penulis susun ini berjudul “GEOGRAFI DIBELAKANG SEJARAH”.

        Penulis berharap  tugas dalam bentuk makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupuan para pembaca. Akhir kata, tiada gading yang tak retak, demikian pula dengan tugas final yang berupa makalah ini, masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun tetap kami nantikan demi kesempurnaan tugas makalah yang kami buat ini.

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
           Geografi sejarah adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia, fisik, fiksi, dan fakta geografi di masa lampau. Ilmu displin ini memiliki bahasan yang sangat luas dan beragam. Umumnya membahas tentang geografi masa lalu dan bagaimana perubahan sebuah wilayah atau tempat berdasarkan waktu. Selain itu juga membahas tentang hubungan manusia dengan lingkungan dan menciptakan kebudayaan alam. Pembahasan geografi sejarah juga mencari bagaimana kebudayaan manusia itu muncul dan berkembang dengan pemahaman hubungan manusia dengan lingkungan.
       Istilah geografi untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Erastothenes pada abad ke 1. Menurut Erastothenes geografi berasal dari kata geographica yang berarti penulisan atau penggambaran mengenai bumi. Berdasarkan pendapat tersebut, maka para ahli geografi (geograf) sependapat bahwa Erastothenes dianggap sebagai peletak dasar pengetahuan geografi.

B.Rumusan masalah
A.Apa itu geografi sejarah ?
B.Geografi sebagai saksi sejarah.. ?
C.Posisi geografi, iklim dan morfologi wilayah ?
D.Geografi regional dan geografi kesejarahan ?

C.Tujuan
    Agar kita sebagai generasi penerus khususnya mahasiswa sejarah, lebih mendalami juga mengetahui tentang geografi dibelakang sejarah.

                                                                         BAB II
                                                                   PEMBAHASAN


1.APA GEOGRAFI SEJARAH

        Geografi sejarah adalah dua kata yang memilikidua kata yang memilikidua arti yang berbeda yaitu geografidansejarah, namun kedua kata itu memilki hubungan yang saling berkaitan antara satudengan yang lain.
A.Geografi
        Menurut erastoteles geografi berasal dari kata geographika yang berartipenulisan/ penggambaran mengenai bumi.
• Menurut Prof. Bintarto geografiadalahsebuah ilmu yang mempelajari hubungan kausal atau hubungan timbal balik antara gejala yang satu dengan gejala yang lain dimuka bumi ini baik yang bersifat fisik maupun yang non fissik berdasarkan berbagai pendekatan.
A.Sejarah
         Delam bahasa arab :disebut syajaratum yang berartipohon yang berkembang dari tingkat yang sederhana ketingkat yang lebih konkrit/yang lebihluas.
•    Dalam bahasa inggris : historis, yang artinya masa lampau kehidupan manusia.
•    Dalambahasa jerman  : geshicte, yang berarti yang terjadi.
        Melihat dari pengertian dua kata diatas, maka dapat disimpulkan studi geografi sejarah merupakan cabang ilmu yang mempelajari mengenaiberbagai peristiwa ataupun kejadian-kejadian yang telah terjadi pada masa lampau dalamkehidupanmanusia dalam alam semestaini.
         Geografi sejarah merupakan cabang ilmu geografi yang mencari peenjelasan tentang bagaimana budaya dari berbagai tempat di bumi berkembang dan menjadi seperti sekarang. Studi tentang muka bumi merupakan satu dari banyak kunci atas bidang ini banyak disimpulkan tentang pengaruh masyarakat dahulu pada lingkungan dan sekitarnya.
           Geografi sejarah adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia, fisik, fiksi, dan fakta geografi di masa lampau. Ilmu displin ini memiliki bahasan yang sangat luas dan beragam. Umumnya membahas tentang geografi masa lalu dan bagaimana perubahan sebuah wilayah atau tempat berdasarkan waktu. Selain itu juga membahas tentang hubungan manusia dengan lingkungan dan menciptakan kebudayaan alam. Pembahasan geografi sejarah juga mencari bagaimana kebudayaan manusia itu muncul dan berkembang dengan pemahaman hubungan manusia dengan lingkungan.
        Istilah geografi untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Erastothenes pada abad ke 1. Menurut Erastothenes geografi berasal dari kata geographica yang berarti penulisan atau penggambaran mengenai bumi. Berdasarkan pendapat tersebut, maka para ahli geografi (geograf) sependapat bahwa Erastothenes dianggap sebagai peletak dasar pengetahuan geografi.   
        Pada awal abad ke-2, muncul tokoh baru yaitu Claudius Ptolomaeus mengatakan bahwa geografi adalah suatu penyajian melalui peta dari sebagian dan seluruh permukaan bumi. Jadi Claudius Ptolomaeus mementingkan peta untuk memberikan informasi tentang permukaan bumi secara umum. Kumpulan dari peta Claudius Ptolomaeus dibukukan, diberi nama ‘Atlas Ptolomaeus’.   
         Menjelang akhir abad ke-18, perkembangan geografi semakin pesat. Pada masa ini berkembang aliran fisis determinis dengan tokohnya yaitu seorang geograf terkenal dari USA yaitu Ellsworth Hunthington. Di Perancis faham posibilis terkenal dengan tokoh geografnya yaitu Paul Vidal de la Blache, sumbangannya yang terkenal adalah “Gen re de vie”. Perbedaan kedua faham tersebut, kalau fisis determinis memandang manusia sebagai figur yang pasif sehingga hidupnya dipengaruhi oleh alam sekitarnya. Sedangkan posibilisme memandang manusia sebagai makhluk yang aktif, yang dapat membudidayakan alam untuk menunjang hidupnya.
1.Geografi sebagai saksi sejarah
         Para ahli sejarah sampai sekarang hanya mengakui kesksian masa lampau yang berupa candi, kraton, inskripsi, buku lontar, monografi daerah, sage, tambo, laporan perjalanan orang asing dan sebagainya. Para geograf yang disamping ilmunya sendiri juga mendalami sejarah dapat menolong agar saksi-saksi alam yan bisu itu daapt ikut berbicara.
        Saksi alam diperlukan dalam situasi macam-macam. Misalnya sejarawan akan memperoleh sumber yang cukup. Sejarah sebagai apa yang ditulis sebenarnya. Merupakan produk dari pandangan seseorang atau intepretasi yang khusus saja dari seseorang.
         Sehubungan itu perlu diajukan tiga pendapat dari para sejarawan sendiri. TOYNBEE percaya bahwa peristiwa-peristiwa sejarah itu memiliki pola-polanya sendiri serta realitasnya sendiri yang sebenarnya belum tentu cocok dengan pemikiran para sejarawan. FISCHER menunjukkan bahwa sejarah itu berisis rentetan kedaruratan yang tidak berpola adapun jika berpola, itu karena sejarawan sendiri yang membuatnya.
Semakin jauh letak masa lampau dan masa kini cenedrung kabur uraiannya padahal mungkin itu tak pernah terjadi dim as lampau. Juga ada hal-hal yang sebenarnya tak sehebat atau tak sepenting keadaanya sebagaiman ditulis dalam sejarah yang telah diakui umum.

2.POSISI GEOGRAFIS, IKLIM DAN MORFOLOGI BUMI

        Kepercayan sejarawan kepada geografi sebagi ilmu bantu yang dapat bermanfaat bagi penelitian sejarah, ilmu sejarah sebagai suatu telaah manusia harus memperhitunkan unsur waktu dan ruang. Dengan mendalami pengetahuan geografis dari sejarah, dapat mendalami latar belakang gaografis dari sejarah.
Relasi antara geografi dan sejarah paling banyak digulati oleh sarjana di perancis. Di sana studi regional selalu diartikan sebagai penelaah terhadap tempat dan penghuninya. Factor-faktor yang terpenting ada tiga yakni posisi, iklim dam morfologi bumi. Tigal hal ini memnentukan manusia menjadi agent of change. Suatu bentang alam sebagaimana adanya sekarang telah mengalami pengubahan terus-menerus oleh kegiatan manusia di sepanjang masa.
           Dengan menelaah suatu region dapat diketahui bagaimana seluk-beluk cara manusia dari abad kea bad telah memanfaatkan berbagai kesempatan yang ditawarkan oleh lingkungan geografis kepadanya. Perlu dicatat bahwa posisi geografis suatu negeri atau anak benua dapat berubah-ubah disepnajng perjalanan abad. Tentang morfologi daerah dapat dikatakan bahwa itu stabil di sepanjang perjalanan abad, tetapi peril juga diperhitungkan pengaruh bencana alam semua dapat merubah posisi daerah dari jenis sentral menjadi yang marginal.

3.GEOGRAFI REGIONAL DAN GEOGRAFI KESEJARAHAN

A.Pengertian geografi regional
         Suatu studi tentang variasi penyebaran gejala dalam ruang pada suatu wilayah tertentu baik secara lokal, negara maupun wilayah yang luas seperti benua. Geografi Regional mempelajari hubungan yang bertautan antara aspek-aspek fisik dengan aspek manusia dan kaitan keruangan di suatu wilayah/region tertentu.
A.Pengertian geografi kesejarahan
          Geografi sejarah adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia, fisik, fiksi, dan fakta geografi di masa lampau. Ilmu displin ini memiliki bahasan yang sangat luas dan beragam. Umumnya membahas tentang geografi masa lalu dan bagaimana perubahan sebuah wilayah atau tempat berdasarkan waktu. Selain itu juga membahas tentang hubungan manusia dengan lingkungan dan menciptakan kebudayaan alam. Pembahasan geografi sejarah juga mencari bagaimana kebudayaan manusia itu muncul dan berkembang dengan pemahaman hubungan manusia dengan lingkungan.
         Pemisahan geografi menjadi dua bagian adalah semu belaka karena orang tak dapat mempelajari gejala alami maupun sosial secara terpisah dalam geografi. Definisi geografi cukup banyak salah satunya yang mneraik adalah geografi pada hakekatnya bertugas menelaah bumi sebagai ruang hini manusia, dan manusia sebagai penghuni bumi.
         Mengenai geagrafi regional dan geografi kesejarahan. Dua-duanya bukanlah cabang dari ilmu geografis fisis dan geografi sosial (dalam arti luas) disuatu wilayah tertentu.
Adapun kartografis juga bukan cabang dari ilmu geografi: ini termasuk ilmu tehnik dan sekaligus juga seni. Dalam pekerjaan nya menelaah berbagai gejala geografis, seorang geograf menggunakan peta.
Segala fakta geografis (yang alami maupun yang sosial) dapat dipetakan karena mempunyai alamatnya di permukaan bumi.
        Kebayakan fakta geogafis atau kelompok fakta geografis bertalian dengan letak, iklim, daratan, perairan, bentuk permukaan bumi (geomorfologi), tanah, tetumbuhan, hewan serta manusia dengan segenap kegiatannya.
         Seorang geografi perlu pula mengerti prinsip-prinsip ekonomi, teori politik dari berbagai peristiwa sejarah. Geograf harus memperhatikan fakta materiil yang penting baginya shubungan dengan dunia gagasan intelektual. Geograf dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi ilmu jiwa filsafat dan teologi.

                                                                        BAB III
                                                                      PENUTUP

KESIMPULAN
         Kepercayan sejarawan kepada geografi sebagi ilmu bantu yang dapat bermanfaat bagi penelitian sejarah, ilmu sejarah sebagai suatu telaah manusia harus memperhitunkan unsur waktu dan ruang. Dengan mendalami pengetahuan geografis dari sejarah, dapat mendalami latar belakang gaografis dari sejarah.
Relasi antara geografi dan sejarah paling banyak digulati oleh sarjana di perancis. Di sana studi regional selalu diartikan sebagai penelaah terhadap tempat dan penghuninya. Factor-faktor yang terpenting ada tiga yakni posisi, iklim dam morfologi bumi. Tigal hal ini memnentukan manusia menjadi agent of change. Suatu bentang alam sebagaimana adanya sekarang telah mengalami pengubahan terus-menerus oleh kegiatan manusia di sepanjang masa.
           Dengan menelaah suatu region dapat diketahui bagaimana seluk-beluk cara manusia dari abad kea bad telah memanfaatkan berbagai kesempatan yang ditawarkan oleh lingkungan geografis kepadanya. Perlu dicatat bahwa posisi geografis suatu negeri atau anak benua dapat berubah-ubah disepnajng perjalanan abad. Tentang morfologi daerah dapat dikatakan bahwa itu stabil di sepanjang perjalanan abad, tetapi peril juga diperhitungkan pengaruh bencana alam semua dapat merubah posisi daerah dari jenis sentral menjadi yang marginal.

                                                           DAFTAR PUSTAKA

Daldjieni, N. 1982. Geografi Kesejarahan I (Perdaban Dunia). Bandung: Alumni.
https://id.scribd.com/document/325090315/geografi-kesejarahan  (KAMIS     20:29)
http://www.docfoc.com/makalah-geografi-kesejarahan (KAMIS 20:29)
                                              

Wednesday, March 01, 2017

no image

MAKALAH TENTANG : IMAN DAN AMAL SERTA KATA IMAN DAN KEDUDUKAN IMAN

KATA PENGANTAR
   
         Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas terselesaikannya makalah ini. Dan tidak lupa pula kita kirimkan  shalawat dan taslim atas junjungan Nabi besar Muhammad s.a.w. Karana Beliaulah sang revolusioner sejati  yang telah membawa kita dari alam yang gelap menuju alam yang terang benderang seperti yang kita rasakan sekarang ini. Makalah yang penulis susun ini berjudul “ASAS ASAS ISLAM”.
       Penulis berharap  tugas dalam bentuk makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupuan para pembaca.Akhir kata, tiada gading yang tak retak, demikian pula dengan tugas final yang berupa makalah ini, masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun tetap kami nantikan demi kesempurnaan tugas makalah yang kami buat ini.
                                                             
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
          Apa yang kami sebut tadi dengan istilah ilmu, pengenalan dan yakin itulah dia “iman” itulah dia makna perkataan “iman” itu sendiri. Setiap orang yang mengenal keMaha Esaan Allah, sifat-sifatNya yang hakiki, undang-undangNya dan pembalasanNya kepada hamba-hambaNya pada Hari Qiamat berkenaan dengan perbuatan mereka, kemudian diyakininya semua itu, dan keyakinannya itu tumbuh dan keputusan dirinya sendiri, itulah dia orang yang “mu’min” Sebahagian daripada natijah iman itu hendaklah manusia itu muslim, ertinya ta’at kepada Allah dan mengikuti undang undangNya.

B.    Rumusan Masalah
1.    Makna iman dan amal............?
2.    Kata iman dan kedudukan iman........?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    MAKNA IMAN

         Pengertian Iman Dalam Agama Islam - Iman (bahasa Arab:الإيمان) secara etimologis berarti 'percaya'. Perkataan iman (إيمان) diambil dari kata kerja 'aamana' (أمن) -- yukminu' (يؤمن) yang berarti 'percaya' atau 'membenarkan'.
       Iman secara bahasa berarti tashdiq (membenarkan). Sedangkan secara istilah syar’i, iman adalah "Keyakinan dalam hati, Perkataan di lisan, amalan dengan anggota badan, bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan maksiat". Para ulama salaf menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang". Ini adalah definisi menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, madzhab Zhahiriyah dan segenap ulama selainnya.
       Dengan demikian definisi iman memiliki 5 karakter: keyakinan hati, perkataan lisan, dan amal perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang.

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ ۗ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
________________________________________Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, QS. Al Fath [48] : 4
      Imam Syafi’i berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan perbuatan. Dia bisa bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.” Imam Ahmad berkata, “Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Ia bertambah dengan melakukan amal, dan ia berkurang dengan sebab meninggalkan amal.” Imam Bukhari mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih dari seribu orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah melihat mereka berselisih bahwasanya iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.” 

B.    MAKNA AMAL
          Secara bahasa "amal" berasal dari bahasa Arab yang berarti perbuatan atau tindakan, sedangkan saleh berarti yang baik atau yang patut. Menurut istilah, amal saleh ialah perbuatan baik yang memberikan manfaat kepada pelakunya di dunia dan balasan pahala yang berlipat di akhirat.
         Pengertian amal dalam pandangan Islam adalah setiap amal saleh, atau setiap perbuatan kebajikan yang diridhai oleh Allah SWT. Dengan demikian, amal dalam Islam tidak hanya terbatas pada ibadah, sebagaimana ilmu dalam Islam tidak hanya terbatas pada ilmu fikih dan hukum-hukum agama. Ilmu dalam dalam ini mencakup semua yang bermanfaat bagi manusia seperti meliputi ilmu agama, ilmu alam, ilmu sosial dan lain-lain. Ilmu-ilmu ini jika dikembangkan dengan benar dan baik maka memberikan dampak yang positif bagi peradaban manusia
          Kata amal artinya pekerjaan. Dalam bahasa Arab kata amal dipakai untuk semua bentuk pekerjaan. Tidak seperti anggapan sebagian masyarakat Muslim, yang mengembalikan kata amal dengan kata ibadah dan memahaminya sebatas kegiatan ritual seperti pergi ke masjid, membaca Alquran, shalat, puasa, haji, zakat, sedekah, dan sebagainya.
          Dalam Alquran, kata amal terbagi kepada 'amalus-shalih (pekerjaan baik) dan 'amalun ghairus-shalih (pekerjaan yang tidak baik). 'Amalun ghairus-shalih disebut pula dengan 'amalus-sayyi-ah (amal salah), termasuk pula ke dalam kategori ini 'amalus-syaithan (pekerjaan setan) dan 'amalus-mufsidin (pekerjaan pelaku kebinasaan). Umat Islam diperintah melakukan 'amalus-shalih dan wajib menjauhi 'amalus-sayyi-ah.
Ada firman Allah SWT,
 مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ خَيْرٌ مِنْهَا ۖ وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى الَّذِينَ عَمِلُوا السَّيِّئَاتِ إِلَّا مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

________________________________________
          Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan.  (Al-Qasas: 84).

C.    KEDUDUKAN IMAN DALAM ISLAM
      Iman dalam Islam menempati posisi amat penting dan strategis sekali. Karena iman adalah asas dan dasar bagi seluruh amal perbuatan manusia. Tanpa iman tidaklah sah dan diterima amal perbuatannya. Firman Allah SWT dalam Qur’an Surat An-Nisa’ 124
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا

________________________________________
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shaleh baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. (An-Nisa’ 124)
  Juga dalam Qur’an Surah Al-Isra’ 19
وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا

________________________________________
       Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. (Surah Al-Isra’ 19)

        Dan disebutkan juga dalam hadits dari Al-Bara’ ibn ‘Azib Radhiyallahu ‘Anhu bahwa ada seorang kafir datang dengan bertopeng sambil membawa sepotong besi kemudian memohon kepada Rasulullah SAW agar diperkenankan pergi bersama kaum Muslimin untuk ikut berperang. Maka beliau bersabda kepadanya “Masuklah Islam kemudian pergilah berperang!” Lalu ia pun masuk Islam dan ikut pergi berperang sehingga terbunuh. Nabi SAW bersabda “Dia beramal sedikit tetapi dibalas dengan pahala yang banyak.” .

BAB III
PENUTUPAN

A.    KESIMPULAN
          Berdasar penjabaran yang telah disampaikan, bahwa keimanan manusia telah Allah tulisakan dalam Al-Quran dan telah disebutkan pula As-Sunnah. Tingkat keimanan seseorang berbeda-beda. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa keimanan seorang dapat berubah menjadi lebih baik melalui beberapa tingkat, mulai dari dasar hingga tingkatan yang lebih tinggi. Namun karena keimanan seseorang dari hati, terkadang iman ini dapat naik ataupun turun. Tetapi, apabila masing-masing dari kita dapat beristiqomah insyallah iman kita akan tetap terjaga.

DAFTAR PUSTAKA

http://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-124/Surah Al-Isra’ 19/ Al-Qasas: 84/ l Fath  : 48
Amidjaja, Tisna. 1992. Iman, Ilmu dan Amal. Jakarta : Rajawali.
Tim Ahli Tauhid. 1998. Kitab Tauhid 2. Jakarta : Yayasan Al – Sofwa
https://serbasejarah.files.wordpress.com/2010/02/asas-asas-islam.pdf  (SELASA ; 28-02-2017)

Saturday, February 25, 2017

no image

MAKALAH TENTANG : BUDIDAYA UDANG WINDU BERWAWASAN LINGKUNGAN

                                                                KATA PENGANTAR  

         Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya, sehingga penulisan makalah kelompok ini dapat diselesaikan dengan baik.  Makalah ini merupakan salah satu tugas dalam mata kuliah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702).  
        Dalam makalah ini dikaji keterkaitan antara udang windu sebagai biota, lingkungan sebagai media hidupnya, serta berbagai input lainnya terutama pakan.  Judul yang diambil adalah: BUDIDAYA UDANG WINDU (Penaeus monodon Fab.) BERWAWASAN LINGKUNGAN.  Pertimbangan berdasarkan unsur-unsur filsafat uraian berikut adalah:
         Tinjauan ontologis mencakup intensifikasi sistem budidaya udang windu (Penaeus monodon Fab.) di tambak yang dimulai sejak tiga dekade yang lalu, yang dari segi kausalitas adalah sangat menurunnya produksi udang windu yang terjadi pada satu dekade terakhir sebagai konsekuensi dari manajemen lingkungan, biota dan pakan yang kurang memperhatikan daya dukung lahan. Secara epistomologis, ditinjau penurunan kualitas air yang berlanjut dengan munculnya berbagai agen pembawa penyakit. Teleologi bahasan adalah untuk mengungkapkan suatu alternatif sistem budidaya udang windu yang berwawasan lingkungan dengan aksiologi produksi optimum, ekonomis, beresiko rendah dan lingkungan yang lestari.
        Dengan demikian, aspek penting yang dibahas  mencakup berbagai permasalahan yang sedang dihadapi dalam budidaya udang di tambak saat ini serta alternatif solusinya guna menjawab berbagai tantangan yang akan dihadapi pada aktivitas akuakultur di masa mendatang.
                                                                                                                                                                                                        Penulis. 

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
I.  PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang
1.2.    Tujuan dan Ruang Lingkup
1.3.    Manfaat
II.  KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.  Deskripsi Teoritis
2.1.1.      Sistem Budidaya
2.1.2.      Biologi
2.1.3.      Lingkungan
2.1.4.      Pakan dan Kemungkinan Dampak yang Ditimbulkan
2.2.  Pendekatan Masalah
III.  APLIKASI TEKNOLOGI
3.1.  Manajemen Biota
3.1.1.      Udang
3.1.2.      Penyakit
3.2.          Manajemen Lingkungan
3.3.          Manajemen Pakan
3.3.1.      Kontrol Sistem Akuakultur
3.3.2.      Strategi Pemberian Pakan
IV.  KESIMPULAN
KEPUSTAKAAN
  _____________________________________
                                                                I.  PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
         Udang windu merupakan komoditas budidaya perairan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.  Melalui gema PROTEKAN (Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan) 2003, ditargetkan pendapatan US$ 10,19 milyar dari perikanan, dan dari budidaya udang diharapkan mampu menyumbang devisa sebesar US$ 6,79 milyar (Basoeki, 2000), yaitu  sejumlah lebih dari 60.000 ton udang (Harris, 2000).
       Secara umum, budidaya udang di Indonesia telah dilakukan sejak lama.  Namun budidaya udang secara intensif baru berkembang pesat pada pertengahan tahun 1986, dimulai di Pulau Jawa, selanjutnya berkembang, antara lain di Bali, Sumatera Utara, Aceh, Lampung, Bengkulu, Bangka, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Lombok, Sumbawa, dan Irian Jaya (Poernomo, 1988). 
       Indonesia tercatat sebagai negara penghasil udang terbesar ketiga di dunia.  Namun produksinya terus menurun, dari 100.000 ton (1994), 80.000 ton (1996), dan 50.000 (1998).  Sejak tahun 1996 beberapa negara lain juga  mengalami penurunan produksi udang, tetapi berangsur-angsur membaik, bahkan Thailand mampu menjadi negara penghasil udang budidaya nomor satu di dunia. 
       Dalam budidaya perairan (akuakultur), khususnya udang windu, produksi merupakan fungsi dari biota, lingkungan dan pakan.  Keberhasilan budidaya udang ditentukan oleh biota yang mempunyai toleransi besar terhadap perubahan atau fluktuasi lingkungan, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, serta responsif terhadap pakan yang diberikan.  Keberhasilan suatu budidaya merupakan derajat kelangsungan hidup dan bobot rata-rata individu yang tinggi sehingga diperoleh produksi yang maksimal.
        Ekosistem tambak merupakan lingkungan alami yang tidak mungkin dapat menyediakan lingkungan hidup yang optimal bagi udang yang dibudidayakan.  Untuk itu, pengelolaan lingkungan sangat diperlukan untuk menyediakan tempat hidup yang layak dan nyaman agar udang dapat menyelenggarakan proses-proses kehidupannya dengan baik.  Jika lingkungan sudah terkondisi dengan baik, maka faktor pakan selanjutnya akan menentukan pertumbuhan.  Ketersediaan pakan yang baik sangat diperlukan bagi pertumbuhan, yaitu penambahan bobot, panjang atau volume udang akibat adanya energi yang disisakan dari energi pakan setelah dikurangi dengan energi metabolisme total serta energi yang dikeluarkan berupa feses dan urin.  Produksi akan optimal bila kendala oleh penyakit dan hama dapat diatasi dengan baik. 
       Ketiga faktor penentu produksi berinteraksi sesamanya.  Sebagai contoh, penerapan teknologi budidaya udang secara intensif memerlukan pemberian pakan yang intensif pula.  Hal ini berkonsekuensi terhadap penumpukan sisa pakan dan ekskresi udang, serta senyawa lainnya di dasar tambak yang dapat menjadi penyebab utama penurunan kualitas lingkungan yang selanjutnya akan menurunkan produktivitas tambak.  Penurunan kualitas lingkungan dapat diakibatkan oleh ketidak-efisienan pakan dan pemberian pakan, ekskresi udang, serta sisa pengobatan. Agar terjadi efisiensi pakan yang tinggi, maka pakan udang yang diberikan harus berpeluang tinggi untuk dimakan.  Kondisi ini tercapai apabila kondisi lingkungan optimal bagi udang.  Karena keeratan hubungan tersebut, maka perlu diusahakan cara budidaya udang dengan memperhatikan kondisi fisiologis udang, lingkungan tempat hidupnya, serta pakan yang tidak mencemari lingkungan.  
1.2.  Tujuan dan Ruang Lingkup
        Kajian ini dimaksudkan untuk mencari alternatif sistem budidaya udang windu yang dapat memberikan produksi tinggi dengan tingkat pencemaran lingkungan yang minimal.
Ruang lingkup kajian meliputi pengenalan biota udang dan manajemen budidaya udang, serta teknologi alternatif yang dapat diterapkan dalam pengembangan budidaya udang guna memperoleh produksi maksimal dengan meminimumkan waste product ke dalam lingkungan sekitarnya (berwawasan lingkungan).

1.3.  Manfaat
            Manfaat kajian ini antara lain adalah diperolehnya suatu alternatif sistem budidaya udang yang menghasilkan produktifvitas tinggi dengan limbah buangan seminimal mungkin.  Hal ini dapat dicapai bila ada keseimbangan antara komponen-komponen ekosistem tambak sehingga menghasilkan kondisi lingkungan yang optimal bagi kehidupan udang sehingga pemanfaatan pakan oleh udang menjadi efisien.

II.  KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.  Deskripsi Teoritis
2.1.1.      Sistem Budidaya
          Pada dekade tahun 1980, budidaya udang secara intensif  berkembang sangat pesat.  Pembukaan tambak baru dengan hamparan yang cukup luas, seringkali kurang memperhatikan keberadaan jalur hijau, akibatnya populasi pohon bakau sangat menurun, bahkan di beberapa tempat dibabat habis.  Pada sisi lain para pengusaha seakan berusaha memacu produksi dengan meningkatkan padat tebar udang.  Dengan padat tebar yang tinggi, diikuti dengan pemberian pakan yang  lebih banyak per satuan luas tambak akan menambah berat beban lingkungan.  Hal ini diperburuk dengan sistem pembuangan air sisa pemeliharaan yang kurang baik, akibatnya dari waktu ke waktu terjadi akumulasi bahan organik sisa pakan dan kotoran udang dalam tambak dan lingkungan estuaria.
         Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1990 tanda-tanda pengaruh memburuknya lingkungan mulai terlihat,  pertumbuhan udang mulai lambat dan seringkali terserang penyakit.  Budidaya udang intensif mulai menghadapi masalah setelah terjadi wabah virus MBV yang mematikan udang dan munculnya senyawa metabolik toksik (amonia, nitrit, dan H2S).  Serangan MBV ini terparah terjadi di pantai utara P. Jawa, dan pada saat itu hampir seluruh kegiatan budidaya udang intensif dihentikan.
Selama ini air buangan tambak intensif dengan kandungan bahan organik yang sangat tinggi dibuang ke lingkungan melalui saluran tambak, dengan harapan dapat terbawa arus ke laut lepas.  Kenyataannya air buangan ini terdorong oleh arus dan pasang air laut dan masuk kembali ke saluran-saluran tambak.  Hal ini akan menyebabkan penumpukan bahan organik di wilayah pertambakan.  Pencemaran bahan organik di tambak merangsang timbulnya penyakit udang.  Kondisi ini telah terjadi pada tambak intensif dengan desain konvensional (Gambar 1).
  
          Sebagai gambaran, perbedaan karakteristik (baik input, proses maupun output) yang umum dari sistem budidaya udang seacara ekstensif, semi-intensif, intensif maupun ultra-intensif dirangkum pada Tabel 1 (Fast, 1992).  Kategori yang terakhir (yaitu sistem ultra-intensif) merupakan bentuk evolusi dari sistem yang telah ada sebelumnya dan jarang diaplikasikan untuk kepentingan komersial, meskipun awalnya dikembangkan oleh petani dan perusahaan swasta.  Sistem tersebut lebih merupakan ‘science’ dan ‘art’ dari aktifitas budidaya.  Perbedaan kategori dari ke empat sistem budidaya tersebut terutama terkait dengan kompleksitas, resiko, manajemen, dan hasil panen. 

Tabel 1.  Karakteristik Sistem Budidaya Udang (dimodifikasi dari Fast, 1992)
Karakteristik     Tipe Produksi
    Ekstensif     Semi-Intensif     Intensif     Ultra-Intensif
Produksi
(MT/ha/th.)     <0.1 – 0.3     0.5 – 2.5     5 – 15     30 - 150
Tk. Tebar
(#/m2/tanam)     0.1 – 1.0     3 – 10     15 - 40     >100
Sumber Benih     Alam     Alam & Hatchery
(? Nursery)     Hatchery
(Nursery)     Hatchery
(Nursery)
Daya Dukung
(gr/m2)     <25     25 – 150     250 – 1000     1500 - 4500
Pakan     Alami
(Tanpa tambahan)     Alami + Tambahan
(Tidak lengkap)     Pakan Buatan
(Lengkap/hampir
lengkap)     Pakan Buatan
(Lengkap
Konversi Pkn.
(kg pkn/kg ud.)     0     <1.0 – 1.5     1.5 – 2.0     >2.0
Tk. Ganti air
(%/hari)     <5     <5 – 20     10 – 20     >100
Pompa     Pasut & pompa     Pompa     Pompa     Pompa
Aerasi &
aerator     Ganti air
secara alami     Ganti air     Aerator dan
Injeksi O2     Aerator dan
Ganti air
Ukur. Kolam
(ha)     >5     1 – 2     0.25 – 2     <0.25
Bentuk Kolam     Tidak teratur     Lebih teratur     Seragam (Bj. Skr. atau segi empat)     Seragam (Tangki/beton)
Survival Rate
(%)     <60     60 – 80     80 – 90     80 - 90
Tanam/tahun     1 – 2     2 – 3     2.5 – 3     >3
Masalah
Penyakit     Minimal     Biasanya tidak jadi masalah     Dapat serius     Sangat serius
Poten. untung
(per kg ud.)     Moderat     Tinggi     Rendah     Sangat rendah
Poten. untung
(ha)     Sangat rendah     Moderat     Tinggi     Sangat tinggi
 
2.1.2.      Biologi
          Pola hidup yang merupakan sifat dasar dari udang adalah bersifat bentik dan nokturnal.  Sifat bentik dimulai sejak udang bermetamorfosis menjadi PL (Bailey-Brock dan Moss, 1992).  Sifat demikian akan menjadi faktor pembatas manakala di dasar tambak terdapat cemaran timbunan bahan organik (terutama yang berasal dari sisa pakan maupun feses) ataupun pada saat kekurangan oksigen.  Oleh karena itu, sifat bentik dapat menjadi dasar pertimbangan manajemen lingkungan tambak.  Sifat nokturnal, yaitu aktif pada malam hari, dapat digunakan sebagai dasar untuk manajemen pakan yang berarti bahwa prosentase pakan yang lebih banyak harus diberikan pada malam hari; atau implikasinya adalah dengan memperdalam kolom air (yaitu >1m) (Primavera, 1994). 
a.  Induk
          Udang windu tersebar secara luas di perairan Indonesia, dan kelimpahannya di setiap daerah dipengaruhi oleh musim.  Luasnya penyebaran dan tidak terjadinya aliran gen (‘gene flow’) antar lokasi menghasilkan keragaman genetik yang berbeda (Primavera, 1994).  Hasil penelitian menunjukkan bahwa induk udang yang berasal dari perairan Aceh mempunyai keragaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain.  Meskipun udang dewasa yang tertangkap dapat dijadikan sebagai induk, namun induk yang diperoleh dari hasil budidaya sudah mempunyai gen adaptif terhadap lingkungan (Gjedrem, 1983).  Waktu pencapaian matang telur untuk induk alam adalah 4-6 minggu sedangkan untuk induk hasil budidaya selama 8-12 minggu, meskipun sudah dengan perlakuan ablasi (Primavera, 1994).  Produksi nauplii mencapai kurang lebih 250.000 ekor/induk. 
        Keragaan genetika dan jumlah induk (‘effective breeding number’) menentukan mutu benur dan keberhasilan budidaya karena terkait dengan tercerminnya gen lokal (‘gene coadaptive complex’) (Lester dan Pante, 1992).  Karena itu, dalam pemilihan induk perlu diperhatikan tiga hal pokok guna mendapatkan benih bermutu, yaitu: 1) keragaan genetik yang tinggi, 2) tipe ekosistem dari asal induk dengan daerah budidaya, dan 3) jumlah induk yang digunakan, terutama bila induk berasal dari hasil budidaya. 
 b.  Penyakit 
       Berbagai penyakit oleh bakteri dan virus merupakan penyebab utama kematian udang yang dibudidayakan. Jenis bakteri penyebab penyakit udang di tambak adalah Vibrio alginolyticus, sedangkan penyakit Infectious Hematopoeitic Hypodermal necrosis (IHHN), Hepatopancreatic Parvo like Virus (HPV), Baculovirus Midgut Gland Necrosis Virus (BMNV), Monodon Baculovirus (MBV), Type C Baculovirus (TCBV), Yellow Head Baculovirus (YHBV), serta Systemic Ectodermal  dan Mesodermal Baculovirus (SEMBV) disebabkan oleh virus.  Untuk penyakit yang disebabkan virus belum ada obatnya sampai sekarang dan kerugiannya secara ekonomi sangat besar.  Kerugian karena penyakit diperkirakan mencapai lebih dari 300 juta US$ per tahun (Wahyono, 1999 dalam Rukyani, 2000).
 2.1.3.      Lingkungan
          Lingkungan yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan udang adalah yang mampu menyediakan kondisi fisika, kimia, dan biologi yang optimal.  Kondisi lingkungan fisik yang dimaksud antara lain suhu dan salinitas.  Kondisi lingkungan kimia antara lain meliputi pH, oksigen terlarut (DO), nitrat, ortofosfat, serta keberadaan plankton  sebagai pakan alami.  Selain itu perlu diperhatikan timbulnya kondisi lingkungan yang dapat menghambat pertumbuhan udang, bahkan dapat mematikan udang, misalnya munculnya gas-gas beracun serta mikroorganisme patogen. 
         Suhu merupakan salah satu faktor pengendali kecepatan reaksi biokimia karena dapat menentukan laju metabolisme melalui perubahan aktivitas molekul yang terkait (Fry dalam Brett, 1979; Johnson et al., 1974 dalam Hoar, 1984).  Pada banyak kasus, keberhasilan budidaya udang terjadi pada kisaran suhu perairan 20-30˚C (Liao dan Murai, 1986).
          Teknik yang diterapkan oleh petani Taiwan untuk merangsang molting dan meningkatkan pertumbuhan udang adalah dengan merubah salinitas secara rutin antara 15-20‰ (Chien et al., 1989 dalam Chien, 1992).  Secara umum, udang windu tumbuh baik pada salinitas 10-25‰ (Anonimus, 1978) dan 15-35‰ (Chen, 1976).  Boyd (1990) menegaskan bahwa salinitas yang ideal untuk pembesaran udang windu berada pada kisaran 15-25‰.
         Pengaruh pH yang berbahaya bagi udang umumnya melalui mekanisme peningkatan daya racun atau konsentrasi zat racun, misalnya peningkatan ammonia anionik (NH3) pada pH di atas 7 (Colt dan Armstrong, 1981 dalam Chien, 1992).  Pada perairan dengan pH rendah akan terjadi peningkatan fraksi sulfida anionik (H2S) dan daya racun nitrit, serta gangguan fisiologis udang sehingga udang stress, pelunakan kulit (karapas), juga penurunan derajat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan (Chien, 1992).  Dalam jangka waktu lama, kondisi pH rendah akan mengakibatkan hilangnya natrium tubuh (plasma) ke dalam perairan (Heath, 1987).  Untuk kondisi pH perairan tambak selama pemeliharaan harus dipertahankan pada kisaran 7,5-8,5 (Law, 1988 dan Chien, 1992) serta pH minimum pada akhir pemeliharaan sebesar 7,3 (Chen dan Wang, 1992).
          Kandungan DO dalam perairan tambak sangat berpengaruh terhadap fisiologi udang.  Dalam perairan berkadar oksigen 1,0 mg/l udang akan berhenti makan, tidak menunjukkan perbedaan laju konsumsi pakan pada konsentrasi 1,5 mg/l, tidak tumbuh pada 1,0-1,4 mg/l, memiliki pertumbuhan terbatas di bawah 5 mg/l dan normal pada konsentrasi di atas 5 mg/l.  Dengan demikian DO harus dipertahankan di atas 2,0 mg/l (Yang, 1990 dan Law, 1988).
         Nitrat dan ortofosfat merupakan nutrien yang diperlukan dalam pertumbuhan fitoplankton.  Kedua jenis nutrien tersebut dapat langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton (Goldman dan Horne, 1983).
Secara umum , fitoplankton yang biasa dijumpai di tambak adalah dari kelompok Bacillariophyceae (diatom), Chlorophyceae, Cyanophyceae, Euglenophyceae, dan Dinophyceae; dua kelompok pertama merupakan fitoplankton yang diharapkan kehadirannya atau sangat bermanfaat bagi pertumbuhan udang (Poernomo, 1988). Komposisi dan kelimpahan plankton dapat menjadi indikator bagi kesehatan lingkungan perairan.  Keberadaan fitoplankton berkait erat dengan nutrien yang tersedia, terutama N, P, dan K, serta Si untuk kelompok diatom.  Rasio N:P yang tepat akan memunculkan  pertumbuhan fitoplankton yang tepat pula, sehingga akan terjadi stabilitas ekosistem tambak melalui berbagai mekanisme (Chien, 1992).  Apabila rasio nutrien tersebut tidak tepat, maka muncul fitoplankton dari kelompok yang tidak diharapkan sehingga dapat mengganggu stabilitas lingkungan, bahkan mematikan udang (Poernomo, 1988).
2.1.4.  Pakan dan Kemungkinan Dampak yang Ditimbulkan
 a.  Pakan
        Pada prinsipnya komponen pakan dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok besar, yaitu: 1) komponen makro, 2) komponen mikro, dan 3) komponen suplemen atau ‘food additives’.  Protein, karbohidrat, dan lemak termasuk dalam komponen makro; sedangkan yang termasuk dalam komponen mikro adalah vitamin, mineral dan zat pengikat (‘binder’).  Berbagai senyawa yang seiring dimasukkan ke dalam komponen food additives meliputi senyawa antioksidan, antibiotik, atraktan, pewarna, enzim dan vitamin atau mineral tunggal yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam pakan untuk tujuan-tujuan tertentu. 
Infrormasi dan pembahasan yang disampaikan dalam makalah ini akan ditekankan pada komponen makro, yang juga merupakan bagian terbesar dari pakan. 
 a.1.  Protein
         Nama protein berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu yang berkonotasi dengan ‘primary holding first place’ dan berarti menduduki tempat yang paling utama.  Protein terdiri dari satuan dasarnya yang disebut asam amino (Clara dan Suhardjo, 1988).  Asam amino terdiri dari tiga golongan yaitu: 1) asam amino esensial, seperti isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan, valin; 2) asam amino semi-esensial, seperti arginin, histidin, tirosin, sistein, glisin dan serin; 3) asam amino non-esensial, seperti glutamat, hidroksiglutamat, aspartat, alanin, prolin, hidroksiprolin, sitrulin dan hidroksiglisin.  Protein mempunyai beberapa fungsi pokok seperti: 1) untuk pertumbuhan dan memelihara jaringan tubuh, 2) sebagai pengatur tubuh dan 3) sebagai bahan bakar di dalam tubuh. 
 a.2.  Karbohidrat
     Karbohidat merupakan nama kelompok senyawa organik yang mempunyai struktur molekul berbeda-beda meskipun masih terdapat persamaan dari sudut fungsinya (Sediaoetomo, 1991).  Karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu: 1) monosakarida, 2) disakarida, dan 3) polisakarida.  Monosakarida merupakan gula sederhana, seperti glukosa, fruktosa dan galaktosa.  Disakarida terdapat dalam laktosa, maltosa dan sukrosa.  Contoh penting dari polisakarida adalah dekstrin, pati, selulosa dan glikogen.  Fungsi utama dari karbohidrat adalah sebagai sumber energi, menghemat penggunaan protein dan lemak.  Jika karbohidrat berlebih maka akan disimpan dalam bentuk glikogen. 
         Terdapat masing-masing 4 enzim kunci yang terlibat baik pada degradasi glikogen menjadi glukosa bebas (glikogenolisis) maupun pada glukoneogenesis.  Enzim kunci pada glikogenolisis adalah: (a) phosphorilase, (b) ‘debranching enzyme’, 1,6 glucosidase, (c) phosphoglucomutase, dan (d) glucose-6-phosphatase; sedangkan pada glukoneogeneis melibatkan enzim-enzim: (a) pyruvate carboxylase, (b) PEP-carboxykinase, (c) fructose diphosphatase, dan (d) glucose-6-phosphatase (Campbell dan Smith, 1982). 
 a.3.  Lemak
          Lipid adalah suatu kelompok senyawa heterogen yang berhubungan dengan asam lemak, baik secara aktual maupun potensial.  Lipid diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu: 1) lipid sederhana yang terdiri dari lemak ester asam lemak dengan gliserol, dan lilin ester asam lemak dengan alkohol monohidrat yang lebih tinggi dari pada gliserol; 2) lipid campuran yang terdiri dari fosfolipid dan serebroside; dan 3) derifed lipid yang meliputi asam lemak (jenuh dan tidak jenuh), gliserol, steroid, alkohol. 
         Fungsi lipid adalah: 1) menghasilkan energi yang dibutuhkan tubuh; 2) pembentuk struktur tubuh; dan 3) pengatur proses yang berlangsung dalam tubuh secara langsung maupun tidak langsung.  Hati merupakan tempat utama dari metabolisme lemak dan sangat bertanggung-jawab terhadap pengaturan kadar lemak dalam tubuh.  Beberapa fungsi hati yang terkait dengan metabolisme lemak yaitu: 1) oksidasi asam lemak, 2) sintesis trigliserida dari karbohidrat, 3) degradasi trigliserida, dan 4) sintesis kolesterol dan fosfolipid dari trigliserida. 

b.  Kemungkinan Dampak yang Ditimbulkan
          Udang mempunyai kemampuan yang jauh lebih rendah dalam memanfaatkan glukosa (Deshimaru dan Shigeno, 1972; Shiau, 1998) bila dibandingkan dengan ikan (Brauge, et al., 1994; Banos et al., 1998).  Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan maksimum untuk udang dapat dicapai pada pemberian pakan mengandung karbohidrat 1% dengan kandungan protein tinggi, yaitu hingga 50% (Campbell, 1991 dalam Rosas et al., 2000).      Keterbatasan penggunaan karbohidrat pakan oleh udang merupakan konsekuensi dari adaptasi metabolik untuk menggunakan protein sebagai sumber energi utama.  Hal ini dikarenakan protein merupakan substrat cadangan yang lebih besar pada udang yang dapat dikonversi menjadi glukosa melalui lintasan glukoneogenik (Campbell dan Smith, 1982; Campbell, 1991 dalam Rosas et al., 2000).  Pada ikan rainbow trout diketahui bahwa peningkatan karbohidrat tercerna dapat meningkatkan akumulasinya dalam hati, meskipun pada konsentrasi melebihi 8% dari bobot pakan menyebabkan pertumbuhan menurun (Alsted, 1991).  Dengan jenis ikan yang sama, Brauge et al. (1994) mendapatkan nilai kebutuhan karbohidrat hingga 25%.  Sedangkan Banos et al. (1998) mendapatkan bahwa rainbow trout mampu memanfaatkan karhohidrat yang sangat mudah dicerna hingga konsentrasi 37% dengan pertumbuhan yang masih baik. 
         Secara umum dapat dikatakan bahwa untuk mendukung pertumbuhan maksimum dan pemenuhan kebutuhan energinya, udang membutuhkan protein pakan pada konsentrasi yang tinggi (Deshimaru dan Shigeno, 1972).  Berbagai pendapat telah diberikan untuk menjelaskan fenomena ini (Pascual et al., 1983; Alava dan Pascual, 1987; Shiau dan Peng, 1992; Shiau, 1998; Campbell, 1991 dalam Rosas et al., 2000).  Menurut Dall dan Smith (1986) hal ini terkait dengan kapasitas udang yang terbatas dalam menyimpan senyawa-senyawa cadangan seperti lipid dan karbohidrat. 
       Sebagai akibat yang kemungkinan besar dapat ditimbulkannya adalah ekskresi bahan organik bernitrogen (baik yang berasal dari feses maupun metabolit) maupun pakan yang tidak termakan dalam jumlah yang besar.  Sebagai gambaran dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan nilai ‘food conversion ratio’ (FCR).  FCR merupakan nilai perbandingan yang menggambarkan berapa bobot pakan yang diberikan dan masuk ke dalam tambak guna mencapai satuan bobot udang saat panen.  Jadi, bilamana diasumsikan bahwa nilai FCR adalah 1.5-2.0 (Tabel 1, untuk tambak intensif) maka berarti bahwa untuk mencapai 1 kg bobot (basah) udang diperlukan pakan (kering) sebanyak 1.5-2.0 kg.  Dengan demikian terdapat buangan yang setara dengan bobot pakan (kering) sebesar 0.5-1.0 kg yang tertinggal di lingkungan untuk setiap 1 kg udang yang dihasilkan.  Nilai ini akan meningkat hingga 6 kali lipat atau lebih bilamana perhitungan didasarkan pada konversi bobot pakan basah ke bobot udang basah, yaitu sekitar 3.0-6.0 kg atau lebih yang berupa limbah buangan.  Bila rata-rata produksi udang sebesar 10 ton/ha/tahun (Tabel 1), maka potensi limbah buangan dari tambak tersebut adalah sebesar 30-60 ton/ha/tahun.  Suatu nilai yang sangat fantastik!!.  
 
2.2.  Pendekatan Masalah
      Untuk pertumbuhannya, udang memerlukan pakan.  Pada budidaya intensif pakan diberikan secara berlebihan.  Pada kondisi ini, pakan harus memenuhi persyaratan dalam hal kelayakan nutrisi, sifat fisik, serta pengelolaan pakan yang tepat.  Kelayakan nutrisi dapat dilihat dari kelengkpan dan keseimbangan nutriennya, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral.  Sifat fisik pakan, pada umumnya dilihat dari stabilitas pakan, yaitu ketahanannya untuk tidak hancur, terurai, atau tercuci dalam air.  Pengelolaan pakan meliputi penentuan jumlah, ukuran dan bentuk pakan, serta frekuensi, waktu, dan cara pemberian pakan.
        Pakan secara langsung menentukan pertumbuhan. Dalam ekosistem tambak, tidak semua pakan yang diberikan dapat dimakan oleh udang.  Sebagian sisa pakan akan tersuspensi di dalam air dan sebagian besar lainnya akan mengendap di dasar tambak.  Penguraian bahan organik sisa pakan tersebut akan memerlukan oksigen.  Dengan demikian penambahan bahan organik secara langsung akan meningkatkan penggunaan oksigen di lingkungan tambak.  Kondisi ini akan terus berjalan sampai titik kritis yang menyebabkan terjadinya deplisit oksigen.  Selanjutnya, penguraian bahan organik tersebut akan berjalan dalam kondisi anaerobik yang akan menghasilkan amonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S).  Ke dua gas tersebut bersifat toksik dan dapat menghambat pertumbuhan udang sampai dengan mematikan. 
        Kondisi lingkungan tambak yang mengandung banyak sisa bahan organik dapat menyebabkan dua hal, yaitu udang mengalami tekanan fisiologis diluar toleransinya serta menurunnya daya tahan udang terhadap penyakit.  Salah satu penyakit udang yang diyakini disebabkan oleh jenis virus sama adalah ‘white spot disease’.  Namun karena diteliti oleh berbagai kelompok peneliti dari berbagai negara, maka mereka menamakannya dengan istilah masing masing, yaitu ‘white spot disease’, WSD, SEMBV, WSSV, WSBV, HHNBV, RV-PJ, PmNOBII, PmNOBIII.
         Berbagai masalah yang telah diuraikan tersebut di atas dapat diperbaiki dengan tiga cara, yaitu melalui: (1) manajemen biota, (2) manajemen lingkungan, serta (3) manajemen pakan yang baik.  Dari beberapa alternatif, budidaya dengan resirkulasi merupakan suatu alternatif yang mempunyai prospek cerah untuk dikembangkan guna menanggulangi permasalahan dalam budidaya udang.
 
III.  APLIKASI TEKNOLOGI
       Secara umum, Chen (2000) berpendapat bahwa kesuksesan suatu budidaya perairan (akuakultur) tergantung pada: 1) Pengendalian siklus reproduksi suatu organisme budidaya secara lengkap; diketahuinya latar belakang genetika induk dengan baik; dan penentuan (diagnose) penyakit serta pencegahan terjadinya penyakit yang dilakukan secara cermat; 2) Penyediaan air yang cukup dengan kualitas baik; dan pemahaman yang benar berdasarkan fisiologi lingkungan serta kondisi nutrisi; dan 3) Aplikasi teknik manajemen inovatif.
3.1.  Manajemen Biota
3.1.1.  Udang
         Keragaan udang dewasa umumnya sudah dapat ditunjukkan oleh laju pertumbuhannya selama tahap larva dan postlarva.  Apabila pada tahap awal udang dapat menunjukkan respon positif terhadap pakan yang diberikan, yang ditunjukkan oleh kelancaran perkembangan mulai dari nauplius, zoea, mysis sampai postlarva (PL), maka diharapkan perkembangan selanjutnya di tambak juga akan mengikuti respon awal tersebut.  Sebagai dasar perbandingan, pada umumnya perkembangan nauplius menjadi zoea memerlukan waktu 2-3 hari, zoea-mysis 3 hari, mysis-PL1 3-4 hari, serta PL1 sampai siap tebar 12-15 hari.  Perkembangan metamorfosis tersebut paling mudah untuk dijadikan indikator tentang keragaan pertumbuhan udang karena kelancaran dalam pergantian kulit (‘molting’) menunjukkan pertumbuhan yang positif bagi larva udang.  Pada beberapa kasus, perkembangan larva yang terlambat (‘kuntet’) akan menghasilkan laju pertumbuhan yang kecil selama pemeliharaan di tambak. 
         Agar benur dapat beradaptasi dengan lingkungan tambak, maka dilakukan aklimatisasi.  Proses ini akan dilakukan terutama untuk parameter suhu dan salinitas air.  Dengan proses ini diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan hidup udang yang selanjutnya meningkatkan nafsu makan serta secara langsung akan meningkatkan derajad kelangsungan hidup (SR).
          Untuk memperoleh pertumbuhan yang baik (yaitu metamorfosis yang cepat dan serentak) diperlukan kondisi media optimal.  Faktor fisika dan kimia air yang perlu diperhatikan adalah suhu, salinitas, pH, dan lain-lainnya.  Sebagai contoh, suhu yang stabil (29±1)˚C akan menyediakan kondisi optimum untuk aktivitas metabolisme tubuh.  Salinitas yang mendekati titik isosmotik cairan tubuhnya dapat menghemat energi yang seharusnya untuk memelihara tingkat kerja osmotik, dapat digunakan untuk energi tumbuh.  Selain itu diperlukan pakan (alami dan buatan) dengan kandungan nutrisi yang lengkap dan sesuai pada masing-masing fase.  Dengan kondisi demikian, metamorfosis yang cepat dan serentak dapat dicapai, sehingga pertumbuhan pada fase berikutnya (PL, juvenil dan dewasa) di tambak tidak terganggu. 
          Manajemen terhadap faktor luar (fisika, kimia air dan nutrisi ) sifatnya temporal dalam satu musim pemeliharaan, maka memperbaiki keragaan biota harus ditempuh dari dalam dan permanen (perbaikan mutu genetik).  Perbaikan mutu genetik (seleksi) dapat diarahkan kepada trait-trait tertentu sesuai yang diinginkan, misalnya trait pertumbuhan, trait metamorfosis, dan sebagainya.  Pembentukan strain demikian dapat dilakukan dengan metoda konvensional (seleksi) atau menggunakan teknologi terkini yaitu penambahan/penyisipan gen tertentu (transgenik).  Dengan pembentukan strain demikian sistem budidaya udang akan dipermudah dan produksi dapat tetap dimaksimalkan.  Manajemen biota secara demikian diharapkan mampu mendukung pertumbuhan udang dengan laju pertumbuhan yang cepat dengan sintasan yang tinggi. 

3.1.2. Penyakit
        Dalam kegiatan budidaya udang windu, penyakit merupakan salah satu kendala atau masalah yang dihadapi.  Pengendalian penyakit harus dilakukan sejak dini,  dan dimulai dari awal budidaya, baik pada pembenihan maupun pembesaran udang windu.  Hal yang harus diperhatikan dalam tindakan itu adalah keamanan, efisiensi dan ekonomi bagi penggunaan agent atau substansi yang dipakai.
Keamanan, efisiensi dan ekonomi merupakan suatu pertimbangan yang utama.  Bahan-bahan kimia yang dipakai dalam jangka panjang dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan, kesehatan konsumen dan resistensi patogen.  Atas dasar ini, perlu dicari alternatif jenis tindakan yang aman untuk diaplikasikan.
      Karena itu, dalam kegiatan budidaya berwawasan lingkungan maka bioremediasi, vaksin dan imunostimulan merupakan alternatif terhadap upaya yang memenuhi tiga tinjauan seperti di atas (aman, efisien dan ekonomis).  Raa et al. (1998) menyebutkan bahwa imunostimulan dapat diterapkan dalam kegiatan budidaya.  Hal yang sama juga diungkapkan oleh sejumlah peneliti diantaranya Anderson (1992).
         Untuk menghadapi penyakit yang disebabkan oleh bakteri, berbagai macam kemoterapeutika sering kali diberikan sejak telur sampai udang siap dipanen. Akhirnya bahan tersebut tidak memberikan hasil yang memuaskan untuk mengobati karena berkembangnya bakteri patogen yang resisten, yang mencapai lebih dari 50% (Angka 1997). Munculnya bakteri patogen pada udang yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotika ini merupakan masalah lain bagi lingkungan perairan.  Sifat resistensi bakteri patogen terhadap berbagai antibiotika ini dapat dipindahkan ke bakteri patogen pada manusia melalui perairan. Akibatnya, bila bakteri patogen ini menyebabkan orang sakit, maka pengobatan dengan antibiotika tidak mempan.
        Pada sistem budidaya udang dengan cara konvensional, air buangan tanpa pengolahan yang dikeluarkan dari tempat budidaya ke lingkungan merupakan polutan yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan perairan.

3.2.   Manajemen Lingkungan
         Beberapa kegiatan untuk mengelola budidaya dengan metode ramah lingkungan dapat dilakukan melalui:
1. Sistem resirkulasi tertutup yang bertujuan agar metabolit dan bahan toksik tidak mencemari lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan sistem filter (Chen, 2000) sebagai berikut:
a.    Sistem filter biologi dapat dilakukan dengan menggunakan bakteri nitrifikasi, alga, atau tanaman air untuk memanfaatkan amonia atau senyawa organik lainnya.
b. Sistem penyaringan non-biologi, dapat dilakukan dengan cara fisika dan kimia     terhadap polutan yang sama.
2. Pemanfaatan mangrove untuk menurunkan kadar limbah budidaya udang, merupakan suatu cara bioremediasi dalam budidaya udang sistem tertutup (Ahmad dan Mangampa,  2000) 
3. Penggunaan bakteri biokontrol atau probiotik untuk mengurangi penggunaan antibiotik sehingga pencemaran di perairan dapat dikurangi (Tjahjadi et al., 1994)
4.   Dengan cara transgenik, yaitu menggunakan gene cecropin b yang diisolasi dari ulat sutera Bombyx mori. Udang transgenik yang mengandung rekombinan cecropin akan mempunyai aktivitas litik tinggi terhadap bakteri patogen pada udang (Chen, 2000). 
         Kualitas air dalam tambak terkait dengan sumber air yang masuk dalam tambak, proses biologis dalam tambak dan proses fisik, seperti ganti air dan aerasi.  Pengelolaan kualitas lingkungan tambak yang bertujuan untuk menyediakan habitat yang layak bagi kehidupan udang dimulai dari saat membuat desain tambak.  Terdapat perbedaan yang substansial antara desain tambak intensif yang konvensional (sistem terbuka) (Gambar 1) dengan desain tambak yang tertutup (Gambar 2).
         Tambak udang sistem tertutup (resirkulasi) bertujuan untuk mengurangi kontaminasi dengan lingkungan sekitarnya.  Air baru yang berasal dari laut ditampung di tandon utama, diberi perlakuan kaporit 30 ppm untuk memberantas seluruh hama penular sekaligus dengan partikel virus (virion) bebas di dalam air (Kokarkin dan Kontara, 2000).  Kajian berikutnya dosis khlorin dapat diturunkan antara 5-20 ppm.  Kemudian air disalurkan ke petak tambak.  Air buangan sisa budidaya disalurkan ke petak tandon sekunder, kemudian ditampung di petak tandon utama.  Dengan sistem ini selama budidaya penambahan air dari luar seminal mungkin, dan hanya diperlukan untuk mengganti air yang menguap dan yang merembes ke tanah, serta mempertahankan salinitas air tetap layak.
         Teknik terakhir yang dikembangkan oleh Balai Budidaya Air Payau Jepara dalam mengatasi serangan hama dan penyakit dari air masuk adalah dengan mengggunakan multi spesies ikan liar yang dipelihara di tandon.  Jenis ikan yang digunakan adalah keting (Ketangus sp), bandeng (Chanos chanos), kakap putih (Lates calcalifer), petek (Leiognatus insidiator), dan wering (Kurtus indicius) untuk memakan udang liar yang berpotensi sebagai pembawa agen penyakit sehingga tidak menularkannya pada udang yang sehat di dalam wadah pemeliharaan (Gambar  3).  
          Untuk mendapatkan kondisi optimum dalam budidya udang perlu diperhatikan hal-hal berikut.  Sebuah tambak harus memiliki kandungan oksigen minimal 3,5 mg/l untuk tambak tradisional dan minimal 4 mg/l untuk tambak intensif dan semi-intensif.  Untuk mendapatkan kondisi optimum bagi kelangsungan budidaya udang maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1.     Sebuah tambak semi-intensif dan intensif harus melakukan pemasangan kincir air (paddle wheel) sesuai dengan target produksi: satu kincir untuk target 300 kg udang.
2.    Pemupukan air harus dilakukan sejak bulan pertama ditentukan berdasarkan rasio N dan P di perairan hingga mendekati 16:1 agar fitoplankton kelompok Bacillariophyceae atau Chlorophyceae dapat tumbuh dengan stabil.
3.     Pada tingkat kehidupan udang yang tinggi atau kepadatan udang lebih dari 15 ekor/m2  pada bulan ketiga, pemberian pakan harus diperkaya dengan vitamin C dan E, serta kalsium, masing-masing 500 mg, 300 SI, dan 10 g/kg pakan, dua hari sekali, pada jam pakan tertinggi.  Pengkayaan pakan ini diperlukan sekali karena suplai dari alam sudah sangat terbatas (Kokarkin dan Kontara, 2000).
4.     Pergantian air harus dilakukan dengan rutin sebesar 10-20% per hari, sejak bulan kedua (Fast, 1992); namun tetap dengan air yang telah diendapkan selama empat hari dalam petak ikan atau diendapkan satu hari setelah disaring halus dan diberi kaporit sebanyak 5 ppm.  Pergantian air diperlukan untuk memasok unsur-unsur mikro bagi pertumbuhan fitoplankton dan untuk membuang sisa metabolik yang larut di dalam air (Kokarkin dan Kontara, 2000).
 
3.3.  Manajemen Pakan
          Desakan internasional agar tetap memperhatikan dan melestarikan lingkungan mendorong nutritionists dan aquaculturists untuk membuat formulasi pakan yang ‘ramah’ atau berwawasan lingkungan, termasuk manajemen pemberiannya agar lebih efisien.  Terkait dengan masalah tersebut adalah: (a) pengadaan pakan dengan kandungan protein rendah, (b) optimalisasi profil/konfigurasi asam amino, (c) optimalisasi perbandingan protein terhadap energi (P/E ratio) dari pakan, (d) perbaikan kualitas bahan pakan, (e) pemilihan bahan pakan yang mempunyai daya cerna tinggi, dan (e) optimalisasi strategi manajemen pakan.  Dengan strategi seperti pada point (a) sampai dengan (e) diharapkan dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan efisiensi pakan dan menekan permasalahan yang ditimbulkan oleh limbah bernitrogen.    
Penggunaan karbohidrat dalam pakan adalah penting dikarenakan beberapa hal: (a) sebagai sumber energi yang jauh lebih murah bila dibandingkan dengan protein, maka karbohidrat dapat menekan ongkos produksi dan yang pada akhirnya dapat menurunkan total harga pakan (Cruz-Suarez et al., 1994), (b) pada tingkat tertentu, karbohidrat mampu men-substitusi energi yang berasal dari protein pakan (‘sparing’ protein pakan) dan karena itu efisiensi pemanfaatan protein pakan untuk pertumbuhan dapat ditingkatkan (Rosas et al., 2000), (c) sebagai binder, karbohidrat (terutama yang berasal dari bahan pakan tertentu) mampu meningkatkan kualitas fisik pakan dan menurunkan prosentase ‘debu pakan’ (Hastings dan Higgs, 1980), (d) sebagai komponen tanpa nitrogen, maka penggunaan karbohidrat dalam jumlah tertentu dalam pakan dapat menurunkan sejumlah limbah ber-nitrogen sehingga meminimalkan dampak negatif dari pakan terhadap lingkungan (Kaushik dan Cowey, 1991), yang juga merupakan media hidup dari udang itu sendiri. 
          Jenis dan tingkat karbohidrat pakan mempengaruhi laju pertumbuhan udang.  Misalnya, kelangsungan hidup juvenil udang windu dipengaruhi oleh tingkat karbohidrat; sedangkan sukrosa dan glukosa adalah lebih baik daripada trehalosa dalam meningkatkan pertumbuhannya (Pascual et al., 1983; Alava dan Pascual, 1987).  Dalam penelitiannya, Rosas et al. (2000) mendapatkan bahwa pakan dengan kandungan karbohidrat 10% belum cukup untuk memenuhi kebutuhan energi-karbohidrat, dan masih perlu energi dari protein pakan.  Selanjutnya dijelaskan bahwa nilai maksimum dari tingkat glikogen dan aktifitas α-amilase terjadi pada udang yang diberi pakan mengandung 21% karbohidrat.      Udang mampu mencerna karbohidrat pakan menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana dan dapat diserap melalui dinding usus sebelum masuk ke dalam aliran darah.  Daya cerna atau kemampuan dalam memanfaatkan karbohidrat bervariasi dan terkait dengan sumber/asal karbohidrat, spesies, proses pembuatan pakan (pemanasan/penggunaan suhu saat pembuatan pellet), kondisi lingkungan hidupnya (terutama suhu), dan status kesehatan. 
         Mekanisme yang bertanggung-jawab terhadap terbatasnya penggunaan glukosa oleh beberapa spesies udang penaeid belum diketahui sepenuhnya.  Shiau (1998) menjelaskan bahwa hal tersebut dimungkinkan dengan adanya efek fisiologis yang negatif yang disebabkan oleh kejenuhan glukosa, dan hal ini dikarenakan laju absorpsi yang lebih tinggi menyeberangi saluran pencernaan.  Dari penjelasan tersebut, Rosas et al. (2000) menyarankan penggunaan karbohidrat yang lebih kompleks dalam pakan udang, seperti starch, yang mengalami hidrolisis enzimatik sebelum assimilasi.  Diketahui, adanya glukosa dari strach pada situs absorpsi usus dengan laju yang lebih rendah daripada glukosa bebas (Pascual et al., 1983; Alava dan Pascual, 1987; Shiau dan Peng, 1992; Shiau 1998). 
    Namun demikian, penelitian menunjukkan bahwa udang dari spesies tertentu mampu memanfaatkpakan pada konsentrasi yang tinggi (Cruz-Suarez et al., 1994).  Hal ini membuktikan bahwa penggunaan karbohidrat dalam pakan berpotensi untuk dapat terus ditingkatkan hingga konsentrasi tertinggi-optimum. 
 
3.3.1.  Kontrol Sistem Akuakultur
         Kebutuhan protein pakan yang tinggi dapat berarti limbah bernitrogen dan biaya pakan yang tinggi pula.  Sebanyak kurang lebih 25% nitrogen pakan dimanfaatkan oleh organisme target (udang atau ikan), sisanya diekskresikan sebagai ammonia atau sebagai N-organik dalam feses atau sisa pakan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas air (Hargreaves, 1998; Avnimelech, 1999).  Karena itu, peningkatan prosentase karbohidrat yang diberikan secara langsung ke dalam pakan hingga kebutuhan maksimum sering dilakukan.  Disamping itu, karbohidrat dapat pula diberikan secara tidak langsung melalui biosintesis protein mikrobial.  Penambahan karbohidrat dilakukan sebagai bagian dari skema pemberian pakan.  Pada kasus ini, penambahan substrat berkarbon menyebabkan ‘recycling’ dan meningkatkan penggunaan protein melalui penggunaan protein-protein mikroba.  Pendekatan metode ini telah dirintis oleh Avnimeleh (1999), yaitu penambahan substrat berkarbon guna menurunkan N-organik dan memproduksi protein mikroba dalam sistem akuakultur. 
          Percobaan ini dapat diterapkan baik pada ikan maupun udang, yang penting adalah bahwa spesies terpilih dapat memanen bakteri dan mampu manfaatkan protein mikrobial.  Dijelaskan bahwa hubungan antara penambahan karbohidrat, penurunan NH4-OH dan produksi protein mikrobial tergantung dari koefisien konversi mikroba, C/N ratio dalam biomas mikroba, dan kandungan karbon dari materi yang ditambahkan (Avnimeleh, 1999).  Efisiensi konversi mikroba didefinisikan sebagai prosentase dari C-terasimilasi berkenaan dengan C-pakan yang dimetabolisme; dan nilai tersebut berada pada kisaran 40-60%. 
          Pendekatan ini mempunyai prospek penting untuk aktivitas akuakultur dimasa mendatang.  Avnimelech (1999) mengemukakan beberapa alasan: (a) peraturan lingkungan melarang pengeluaran air kaya nutrien ke lingkungan, (b) bahaya akan masuknya patogen ke dalam lingkungan perairan, dan (c) biaya yang tinggi untuk memompa air dalam jumlah besar.  Pendekatan ini terlihat merupakan suatu cara yang praktis dan tidak mahal untuk menurunkan akumulasi nitrogen inorganik dalam kolam. 
Dengan menggunakan sistem tersebut maka dapat dikatakan bahwa protein dimakan oleh ikan dua kali, pertama dalam pakan dan kemudian dipanen lagi sebagai protein mikroba.  Sistem tersebut juga memungkinkan protein untuk dapat digunakan lebih lanjut.  Bilamana protein mikrobial diperhitungkan ke dalam protein pakan, maka sistem ini benar-benar mampu menurunkan total protein pakan, misalnya dari 30% hingga menjadi 23%.  Disamping itu, dengan mengikuti prinsip-prinsip tersebut maka dimungkinkan untuk dilakukan kegiatan budidaya perikanan di padang pasir. 
   
3.3.2.  Strategi Pemberian Pakan
            Hormon berperan dalam regulasi pertumbuhan dan penggunaan nutrien pada ikan.  Konsekuensinya adalah bahwa sistem endokrin ikan peka terhadap perubahan-perubahan nutrien yang masuk ke dalam tubuh.  Karbohidrat tercerna diduga berperan dalam regulasi produksi hormon pituitary dan thyroid, sedangkan hormon tersebut meregulasi pertumbuhan dan penggunaan energi (MacKenzie, 1998; Banos et al., 1998).  Insulin dan glukagon, selain meregulasi metabolisme karbohidrat dan lipid, juga meregulasi pertumbuhan.  Ikan yang diberi pakan berkabohidrat lebih tinggi menunjukkan kandungan insulin, plasma darah, dan cadangan glikogen jaringan yang lebih tinggi pula.
           Dalam papernya, MacKenzie (1998) mengemukakan peran penting dari berbagai hormon yang terkait dengan regulasi karbohidrat pakan dan yang pada akhirnya dapat dipergunakan sebagai strategi dalam pemberian pakan.  Dijelaskan bahwa puasa meningkatkan sirkulasi dan sekresi hormon pituitary, yaitu hormon pertumbuhan, yang telah sangat dikenal sebagai salah satu hormon anabolik.  Hormon pertumbuhan ini menggunakan pengaruh somatotropiknya melalui stimulasi produksi IGF (insulin-like growth factor) pada jaringan target.  Namun, jumlah reseptor hormon pertumbuhan menurun selama puasa sehingga jaringan tersebut kehilangan sensitifitas (kepekaan)-nya terhadap stimulasi, dan mengakibatkan penurunan produksi IGF.  Hal ini mungkin merupakan alasan utama pertumbuhan yang menurun, meskipun selama puasa sirkulasi hormon pertumbuhan meningkat (yaitu dengan menghilangkan feedback negatif dari IGF).  Peningkatan hormon pertumbuhan yang tinggi dan yang tetap terjadi selama puasa mungkin masih tetap mendukung pertumbuhan tulang dan lipolisis.  Dengan demikian, pengaturan yang tepat antara pemberian pakan (‘feeding’) dan puasa (‘fasting’) masih tetap memberikan kesempatan pada ikan untuk tumbuh normal, dan bahkan dapat menurunkan depot lemak tubuh (sehingga diperoleh daging ikan yang rendah kandungan lemaknya, ‘lean flesh’).  Karena itu, cukup beralasan untuk mengasumsikan bahwa: ‘Konsumsi pakan meningkatkan produksi hormon anabolik untuk langsung menggunakan nutrien tercerna.  Peningkatan hormon anabolik tersebut yang terjadi setelah pemberian pakan kemudian secara langsung mungkin mengaktifkan proses-proses yang mendorong peningkatan pertumbuhan seperti transport nutrien intestinal atau sintesis protein.  Karena itu, kemungkinan yang ada adalah bahwa periode puasa dapat dijadwalkan kedalam strategi pengaturan pemberian pakan untuk mengaktifkan respon-respon endokrin yang mengurangi lipogenesis atau mendorong terjadinya lipolisis’. 
         Puasa (‘fasting’) memberikan efek endokrin yang berbeda bila dibandingkan dengan pembatasan pemberian pakan (‘food restriction’).  Farbridge et al. (1992) mendapatkan bahwa level hormon pertumbuhan menurun pada rainbow trout yang diberi makan terbatas, namun sebaliknya, sering ditemukan bahwa hormon pertumbuhan meningkat pada ikan yang dipuasakan.  Disimpulkan bahwa status fisiologis yang diakibatkan oleh pembatasan pemberian pakan secara substansial berbeda dengan yang terjadi selama puasa penuh.  Ditambahkan bahwa puasa yang berkepanjangan justru mendorong terjadinya proses-proses katabolisme seperti mobilisasi protein untuk mempertahankan kehidupan ikan.  Dengan demikian, perlu dikaji periode waktu yang tepat antara hari-hari pemberian pakan (‘feeding periods’) dan puasa (‘fasting time’). 
 
IV.  KESIMPULAN
       Sistem budidaya udang windu secara tertutup dapat dipakai sebagai alternatif budidaya yang berwawasan lingkungan untuk menghasilkan produksi udang yang tinggi secara lestari.  Kinerja sistem budidaya tersebut akan lebih baik bila didukung dengan manajemen biota, manajemen lingkungan dan manajemen pakan.

KEPUSTAKAAN
 Ahmad. T. and Mangampa, M., 2000.  The use of  mangrove stands for bioremediation in a closed shrimp culture system. In: Hardjito, L. (Ed.).  International Symposium on Marine Biotechnology.  Center for Coastal and Marine Resources Studies, IPB, Jakarta, Indonesia, p.: 112-120. 
 Alava, V.R. and Pascual, F.P., 1987.  Carbohydrate requirements of P. monodon Fabricius juveniles.  Aquaculture, 61: 211-217.
 Alsted, N.S., 1991.  Studies on the reduction of discharges from fish farms by modification of the diet.  In: Cowey, C.B. and Cho, C.Y. (Eds.).  Nutritional Strategies & Aquaculture Waste.  Fish Nutr. Res. Lab., Dept. of  Nutr. Sci., Univ. of  Guelph, Guelph, Ontario, pp.: 77-89.
 Anderson, D.P., 1992.  Immunostimulant, adjuvants and vaccine carriers in fish: Aplications to Aquaculture.  Animal Rev. of Fish Diseases, 21: 281-307. 
 Angka, S.L., 1997.  Antibiotic sensitivity and pathogenicity of aeromonas and vibrio isolates in Indonesia. In.: Flegel, T.W. and Mac Rae, I.H. (eds.). Diseases in Asian Aquaculture III.  Fish Health Section. Asian Fisheries Society, Manila.
 Anonimus, 1978.  Manual on pond culture of penaeid shrimp.  Asean National Coord. Agency of the Philippines.
 Avnimelech, Y., 1999.  Carbon/nitrogen ratio as a control element in aquaculture systems.  Aquaculture, 176: 227-235.
 Bailey-Brock, J.H. and Moss, S.M., 1992.  Penaeid taxonomy, biology and zoogeography.  In.: Fast, A.W. and Lester, L.J.  (Eds.). Marine Shrimp Culture: Principles and Pactices, pp.: 9-28. 
 Basoeki, D.M., 2000.  Sumbangan subsektor budidaya udang dalam pencapaian target protekan 2003: Sebuah Studi Kasus di TIR Terpadu PT. Centralpertiwi Bahari.  Sarasehan Akuakultur Nasional, Bogor.
 Banos, N., Baro, J., Castejon, C., Navarro, I., and Gutierrez, J., 1998.  Influence of high-carbohydrate enriched diets on plasma insulin levels and insulin and IGF-I receptors in trout.  Regulatory Peptides, 77: 55-62.
 Boyd, C.E., 1990.  Water quality in ponds for aquaculture.  Alabama Agricultural Experimental Station, Auburn University, Alabama,  482 p. 
 Brauge, C., Medale, F. and Corraze, G., 1994.  Effect of dietary carbohydrate levels on growth, body composition and glycaemia in rainbow trout, Oncorhynchus mykiss, reared in seawater.  Aquaculture, 123: 109-120.
 Brett, J.R., 1979.  Environmental factor and growth.  In.: Hoar, W.S., Randall, D.J. and Brett, J.R.  (Eds.).  Fish Physiology.  Vol. VIII.  Bioenergeticts and growth.  Acad. Press, London, pp.: 599-675. 
 Campbell, P.N. and Smith, A.D., 1982.  Biochemistry illustrated.  Churchill Livingstone, New York, 225 p.
 Chen, T.P., 1976.  Aquaculture practices in Taiwan.  Page Bros Ltd., Norwich, 162 p.
 Chen, J.-C. dan Wang, T.-C., 1990.  Culture of tiger shrimp and red-tailed shrimp in a semi-static system.  In: Hirono R. and Hanyu I. (Eds.).  The second Asian Fisheries Forum.  Asian Fisheries Sosiety, Manila, Philippines,  p.:77-80.
 Chen, T.T., 2000.  Aquaculture biotechnology and fish disease. In: Hardjito, L. (Ed.).  International Symposium on Marine Biotechnology.  Center for Coastal and Marine Resources Studies, IPB, Jakarta, Indonesia, p.: 3-8.
 Chien, Y.-H., 1992.  Water quality requirements and manajement for marine shrimp culture.  In: Wyban J. (Ed.).  Proceedings of the special session on shrimp farming.  World Aquaculture Society, Baton Rouge, L.A., U.S.A.,  p.: 144-156.
Clara dan Suhardjo, 1988.  Prinsip-prinsip ilmu gizi.  Pusat Antar Universitas-IPB, LSI, Bogor.
 Cruz-Suarez, L.E., Ricque, M.D., Pinal-Mansilla, J.D. and Wesche-Ebelling, P., 1994.  Effect of different carbohydrate sources on the growth of P. vannamei.  Economical impact.  Aquaculture, 123: 349-360.
 Dall, W. and Smith, D.M., 1986.  Oxygen consumption and ammonia-N excretion in fed and starved tiger prawns Penaeus esculentus Haswell.  Aquaculture, 55:23-33.
 Deshimaru, O. and Shigeno, K., 1972.  Introduction to the artificial diet for prawn, Penaeus indicus.  Aquaculture, 1: 115-133. 
 Farbridge, K.J., Flett, P.A., Leatherland, J.F., 1992.  Temporal effect of restricted diet and compensatory increased dietary intake on thyroid function, plasma growth hormone levels and tissue lipid reserves of rainbow trout Oncorhynchus mykiss.  Aquaculture, 104: 157-174. 
 Fast, A.W., 1992.  Penaeid growthout systems: An Overview.  In.: Fast, A.W. and Lester, L.J.  (Eds.). Marine Shrimp Culture: Principles and Pactices, pp.: 345-354. 
 Gjedrem, T., 1983.  Quantitative genetics of fish.